Selasa, 17 November 2009

RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR TAHUN 2008 TENTANG IRIGASI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

GUBERNUR JAWA BARAT,

Menimbang: a. bahwa air sebagai sumber kehidupan masyarakat yang sesuai sifatnya, selalu mengikuti siklus hidrologis yang erat hubungannya dengan kondisi cuaca pada suatu daerah, sehingga menyebabkan ketersediaan air tidak merata dalam setiap waktu dan setiap wilayah;
b. bahwa fungsi irigasi memegang peranan sangat penting dalam meningkatkan produksi tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, kehutanan, peternakan dan perikanan;
c. bahwa Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 2 Tahun 2004 tentang Irigasi sudah tidak sesuai lagi dengan pembaharuan kebijakan, pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi, sehingga perlu ditinjau kembali;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, b dan c tersebut di atas, perlu ditetapkan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat tentang Irigasi;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1950 tentang Pembentukan Provinsi Jawa Barat (Berita Negara tanggal 4 Juli 1950);
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043);
3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3419);
4. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3478);
5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);



6. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 146, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3888) Jo. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4412);
7. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4377);
8. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4389);
9. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4421);
10. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 124, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4436);
11. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4844);
12. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 28, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4724);
13. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1982 tentang Tata Pengaturan Air (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3225);
14. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3848);
15. Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 1999 tentang Perusahaan Umum (Perum) Jasa Tirta II (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 203);
16. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4161);


17. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa (Lembaran Negara Tahun 2005 Nomor 158, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4587);
18. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pembinaan dan Pengawasan atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2005 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4593);
19. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2006 tentang Irigasi (Lembaran Negara Tahun 2006 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4624);
20. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952);
21. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 22 Tahun 2003 tentang Pedoman Pengaturan Wewenang, Tugas dan Tanggungjawab Lembaga Pengelola Irigasi Provinsi dan Kabupaten/Kota;
22. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 298/HMK.02/2003 tentang Pedoman Penyediaan Dana Pengelolaan Irigasi Kabupaten/Kota;
23. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 3 Tahun 2001 tentang Pola Induk Pengelolaan Sumber Daya Air di Provinsi Jawa Barat (Lembaran Daerah Tahun 2001 Nomor 1 Seri C);
24. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 3 Tahun 2005 tentang Pembentukan Peraturan Daerah (Lembaran Daerah Tahun 2005 Nomor 13 Seri E, Tambahan Lembaran Daerah Nomor 15);
25. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 8 Tahun 2005 tentang Sempadan Sumber Air (Lembaran Daerah Tahun 2005 Nomor 16 Seri C, Tambahan Lembaran Daerah Nomor 19);
26. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 2 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung (Lembaran Daerah Tahun 2006 Nomor 1 Seri E, Tambahan Lembaran Daerah Nomor 21);

Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI JAWA BARAT
dan
GUBERNUR JAWA BARAT
MEMUTUSKAN :




Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG IRIGASI.


BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:
1. Daerah adalah Provinsi Jawa Barat.
2. Pemerintah Daerah adalah Gubernur beserta perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
3. Gubernur adalah Gubernur Jawa Barat.
4. Dinas adalah Dinas yang membidangi pengelolaan sumber daya air di Jawa Barat.
5. Pemerintah Kabupaten/Kota adalah Pemerintah Kabupaten/Kota di Jawa Barat.
6. Bupati/Walikota adalah Bupati/Walikota di Jawa Barat.
7. Air adalah semua air yang terdapat pada, di atas ataupun di bawah permukaan tanah, termasuk dalam pengertian ini, air permukaan, air tanah dan air hujan.
8. Sumber Air adalah tempat atau wadah air alami dan/atau buatan yang terdapat pada, di atas ataupun di bawah permukaan tanah.
9. Irigasi adalah usaha penyediaan, pengaturan dan pembuangan air irigasi untuk menunjang pertanian yang jenisnya meliputi irigasi air permukaan, irigasi rawa, irigasi air bawah tanah, irigasi pompa dan irigasi kolam/tambak.
10. Sistem Irigasi adalah satu kesatuan sistem yang meliputi prasarana irigasi, air irigasi, manajemen irigasi, kelembagaan pengelolaan irigasi dan sumberdaya manusia.
11. Daerah Irigasi adalah kesatuan lahan yang mendapat air dari satu jaringan irigasi.
12. Daerah Irigasi Lintas Kabupaten/Kota adalah daerah irigasi yang mendapatkan air irigasi dari jaringan yang bangunan dan/atau saluran serta luasannya berada di lebih dari satu wilayah Kabupaten/Kota.
13. Penyediaan Air Irigasi adalah penentuan volume air per satuan waktu yang dialokasikan dari suatu sumber air untuk daerah irigasi yang didasarkan waktu, jumlah dan mutu, sesuai dengan kebutuhan untuk menunjang pertanian dan keperluan lainnya.
14. Pengaturan Air Irigasi adalah kegiatan yang meliputi pembagian, pemberian dan penggunaan air irigasi.
15. Pembagian Air Irigasi adalah kegiatan membagi air di bangunan bagi dan/atau sadap dalam jaringan primer dan/atau jaringan sekunder sesuai kebutuhan.
16. Penggunaan Air Irigasi adalah kegiatan memanfaatkan air dari petak tersier untuk mengairi lahan pertanian pada saat diperlukan.
17. Pemberian Air Irigasi adalah kegiatan menyalurkan air dengan jumlah tertentu dari jaringan primer atau jaringan sekunder ke petak tersier dan keperluan lainnya.
18. Pembuangan Air Irigasi yang selanjutnya disebut drainase adalah pengaliran kelebihan air yang sudah tidak dipergunakan lagi pada suatu daerah irigasi tertentu.
19. Jaringan Irigasi adalah saluran, bangunan, bangunan pelengkap dan daerah sempadan irigasi yang merupakan satu kesatuan dan diperlukan untuk penyediaan, pembagian, pemberian, penggunaan dan pembuangan air irigasi.
20. Jaringan Primer adalah bagian dari jaringan irigasi yang terdiri dari bangunan utama, saluran induk atau primer, saluran pembuangnya, bangunan bagi, bangunan bagi sadap, bangunan sadap dan bangunan pelengkapnya.
21. Jaringan Sekunder adalah bagian dari jaringan irigasi yang terdiri dari bangunan utama, saluran sekunder, saluran pembuangnya, bangunan bagi, bangunan bagi sadap, bangunan sadap dan bangunan pelengkapnya.
22. Jaringan Tersier adalah jaringan irigasi yang berfungsi sebagai prasarana pelayanan air irigasi dalam petak tersier yang terdiri dari saluran tersier, saluran kuarter dan saluran pembuang, boks tersier, boks kuarter, serta bangunan pelengkapnya.
23. Pertanian adalah budidaya pertanian yang meliputi tanaman pangan, hortikultura, perikanan, peternakan, perkebunan dan kehutanan.
24. Petani adalah petani tanaman pangan, hortikultura, perikanan, peternakan, perkebunan dan kehutanan.
25. Perkumpulan Petani Pemakai Air Mitra Cai yang selanjutnya disebut P3A Mitra Cai adalah kelembagaan pengelola irigasi berbadan hukum yang menjadi wadah petani pemakai air dalam suatu daerah layanan atau petak tersier atau desa, yang dibentuk secara demokratis oleh dan untuk masyarakat petani.
26. Gabungan Petani Pemakai Air Mitra Cai yang selanjutnya disebut GP3A Mitra Cai adalah kelembagaan pengelola irigasi berbadan hukum yang menjadi wadah petani pemakai air dalam suatu daerah layanan jaringan irigasi sekunder yang dibentuk secara demokratis oleh dan untuk masyarakat petani.
27. Induk Petani Pemakai Air Mitra Cai yang selanjutnya disebut IP3A Mitra Cai adalah kelembagaan pengelola irigasi berbadan hukum yang menjadi wadah petani pemakai air dalam suatu daerah layanan jaringan irigasi primer atau satu daerah irigasi yang dibentuk secara demokratis oleh dan untuk masyarakat petani.
28. Masyarakat Petani adalah kelompok masyarakat yang bergerak dalam bidang pertanian, baik yang telah tergabung dalam organisasi P3A/GP3A/IP3A Mitra Cai maupun petani lainnya yang belum tergabung dan/atau tidak tergabung dalam organisasi P3A/GP3A/IP3A Mitra Cai.
29. Komisi Irigasi Provinsi adalah lembaga koordinasi dan komunikasi antara wakil Pemerintah Daerah, wakil P3A Mitra Cai tingkat daerah irigasi, wakil pengguna jaringan irigasi di Daerah dan wakil Komisi Irigasi Kabupaten/Kota yang di wilayahnya terdapat jaringan irigasi yang menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah.
30. Komisi Irigasi Kabupaten/Kota adalah lembaga koordinasi dan komunikasi antara wakil Pemerintah Kabupaten/Kota, wakil P3A Mitra Cai tingkat daerah irigasi dan wakil pengguna jaringan irigasi di Kabupaten/Kota.
31. Forum Koordinasi Daerah Irigasi adalah sarana konsultasi dan komunikasi antara wakil P3A/GP3A/IP3A Mitra Cai, wakil pengguna jaringan, dan wakil Pemerintah Daerah dalam rangka pengelolaan irigasi yang jaringannya berfungsi multiguna pada suatu daerah irigasi.
32. Aset Irigasi adalah jaringan irigasi dan pendukung pengelolaannya.
33. Pengelolaan Aset Irigasi adalah proses manajemen yang terstruktur untuk perencanaan pemeliharaan dan pendanaan sistem irigasi, guna mencapai tingkat pelayanan yang ditetapkan dan berkelanjutan bagi pemakai air irigasi dan pengguna jaringan irigasi, dengan pembiayaan pengelolaan aset irigasi seefisien mungkin.
34. Pengembangan Jaringan Irigasi adalah kegiatan pembangunan jaringan irigasi baru dan/atau peningkatan jaringan irigasi yang sudah ada.
35. Pembangunan Jaringan Irigasi adalah seluruh kegiatan penyediaan jaringan irigasi di wilayah tertentu yang belum ada jaringannya.
36. Peningkatan Jaringan Irigasi adalah kegiatan meningkatkan fungsi dan kondisi jaringan irigasi yang sudah ada atau menambah luas areal pelayanan pada jaringan irigasi yang sudah ada, dengan mempertimbangkan perubahan kondisi lingkungan daerah irigasi.
37. Pengelolaan Jaringan Irigasi adalah kegiatan yang meliputi operasi, pemeliharaan dan rehabilitasi jaringan irigasi di daerah irigasi.



38. Operasi Jaringan Irigasi adalah upaya pengaturan air irigasi dan pembuangannya, termasuk kegiatan membuka-menutup pintu bangunan irigasi, menyusun rencana tata tanam, menyusun sistem golongan, menyusun rencana pembagian air, melaksanakan kalibrasi pintu/bangunan, mengumpulkan data, memantau, dan mengevaluasi.
39. Pemeliharaan Jaringan Irigasi adalah upaya menjaga dan mengamankan jaringan irigasi agar selalu berfungsi dengan baik, guna memperlancar pelaksanaan operasi dan mempertahankan kelestariannya.
40. Rehabilitasi Jaringan Irigasi adalah kegiatan perbaikan jaringan irigasi guna mengembalikan fungsi dan pelayanan irigasi seperti semula.

BAB II
ASAS, MAKSUD, TUJUAN DAN FUNGSI
Bagian Kesatu
Asas
Pasal 2
Irigasi dikelola berdasarkan asas partisipatif, berwawasan lingkungan, kelestarian, keseimbangan, kemanfaatan umum, keterpaduan dan keserasian, keadilan, kemandirian, transparansi dan akuntabilitas.

Bagian Kedua
Maksud dan Tujuan
Pasal 3
Irigasi dikelola untuk mengatur pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi di Daerah secara efisien dan efektif, terarah dan berkelanjutan, serta mengutamakan kepentingan petani.

Bagian Ketiga
Fungsi
Pasal 4
(1) Irigasi berfungsi mendukung produktivitas usaha tani guna meningkatkan produksi pertanian dalam rangka ketahanan pangan serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya petani.
(2) Pengaturan irigasi dalam Peraturan Daerah ini berfungsi sebagai pedoman bagi penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota mengenai irigasi.


BAB III
PENGEMBANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM IRIGASI
Bagian Kesatu
Prinsip
Pasal 5
(1) Pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi dilaksanakan secara partisipatif dengan mendorong peran serta petani baik secara perorangan atau melalui P3A Mitra Cai, sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya.
(2) Pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi yang dilaksanakan oleh badan usaha, badan sosial, atau perseorangan diselenggarakan dengan memperhatikan kepentingan masyarakat di sekitarnya, untuk kebutuhan pokok sehari-hari.
(3) Pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi dilaksanakan dengan :
a. mengutamakan pendayagunaan air permukaan;
b. satu sistem irigasi satu kesatuan manajemen pengembangan dan pengelolaan.
(4) Pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi dilaksanakan untuk menjamin keberlanjutan dengan berdasarkan:
a. Keandalan air irigasi, yang diwujudkan melalui kegiatan pembangunan yang memperhatikan aspek-aspek konservasi dan pelestarian guna menjamin keseimbangan keandalan air, berupa pemanfaatan dan pengembangan situ, pembangunan waduk, waduk lapangan, bendung, pompa dan jaringan drainase yang memadai, pengendalian mutu air, serta pemanfaatan kembali air drainase;
b. Keandalan prasarana irigasi, yang diwujudkan melalui kegiatan peningkatan dan pengelolaan jaringan irigasi yang meliputi operasi, pemeliharaan dan rehabilitasi jaringan irigasi.
(5) Pedoman pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi partisipatif ditetapkan oleh Gubernur.
Bagian Kedua
Kelembagaan Pengelolaan Irigasi
Pasal 6
Untuk mewujudkan pengembangan dan pengelolaan jaringan irigasi dengan mengupayakan keterpaduan dan keserasian hubungan, dibentuk kelembagaan pengelolaan irigasi, meliputi instansi pemerintah yang membidangi irigasi, perkumpulan petani pemakai air dan komisi irigasi pada semua tingkatan, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 7
Untuk meningkatkan koordinasi dan komunikasi dalam merumuskan kebijakan pengelolaan irigasi, Gubernur membentuk :
a. Komisi Irigasi Provinsi;
b. Komisi Irigasi antar Provinsi, untuk daerah irigasi lintas Provinsi, bekerjasama dengan Pemerintah Daerah Provinsi yang berbatasan;
c. Forum Koordinasi Daerah Irigasi, untuk daerah irigasi multiguna pada satu daerah irigasi.

Bagian Ketiga
Tanggungjawab
Pasal 8
Pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi yang menjadi tanggungjawab Pemerintah Daerah meliputi :
a. Penetapan kebijakan dalam pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi di Daerah;
b. Pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi primer dan sekunder pada daerah irigasi lintas Kabupaten/Kota dengan luas sampai dengan 3.000 Ha dan daerah irigasi yang luasnya 1.000 Ha sampai dengan 3.000 Ha yang berada di wilayah satu Kabupaten/Kota, secara efektif, efisien dan tertib;
c. Pemberian rekomendasi teknis kepada Pemerintah Kabupaten/Kota dalam penggunaan dan pengusahaan air tanah untuk irigasi yang diambil dari cekungan air tanah lintas Kabupaten/Kota;
d. Fasilitasi penyelesaian sengketa antar Kabupaten/Kota dalam pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi;
e. Pemberian bantuan teknis dalam pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi kepada Pemerintah Kabupaten/Kota;
f. Pemberian bantuan kepada petani dalam pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi yang menjadi tanggung jawab petani atas permintaannya berdasarkan prinsip kemandirian;
g. Pemberian izin pembangunan, pemanfaatan, perubahan, dan/atau pembongkaran bangunan dan/atau saluran irigasi pada jaringan irigasi primer dan sekunder dalam daerah irigasi lintas Kabupaten/Kota.
Pasal 9
(1) Pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi primer dan sekunder pada daerah irigasi dalam satu Kabupaten/Kota dengan luas sampai dengan 1.000 Ha, menjadi kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota.
(2) Peningkatan dan pengelolaan sistem irigasi yang dibangun oleh Pemerintah Desa, menjadi kewenangan Pemerintah Desa.
Pasal 10
Pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi tersier menjadi tanggung jawab petani, P3A Mitra Cai, GP3A Mitra Cai dan IP3A Mitra Cai.

Bagian Keempat
Kerjasama
Pasal 11

Pemerintah Daerah dapat bekerjasama dengan Pemerintah, Pemerintah Kabupaten/Kota, Pemerintah Desa dan/atau perkumpulan petani pemakai air dalam pengembangan dan pengelolaan jaringan irigasi, berdasarkan kesepakatan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Kelima
Tugas Pembantuan
Pasal 12
Pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi, dapat ditugaspembantuankan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota atau Desa, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB IV
PEMBERDAYAAN P3A
Pasal 13
(1) Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya memberikan bantuan teknis kepada Pemerintah Kabupaten/Kota dalam rangka pemberdayaan perkumpulan petani pemakai air, meliputi:
a. Penyuluhan dan penyebarluasan teknologi bidang irigasi hasil penelitian dan pengembangan kepada petani;
b. Mendorong petani untuk menerapkan teknologi tepat guna yang sesuai dengan kebutuhan, sumber daya, dan kearifan lokal;
c. Fasilitasi dan meningkatkan pelaksanaan penelitian dan pengembangan teknologi di bidang irigasi; dan
d. Fasilitasi perlindungan hak penemu dan temuan teknologi dalam bidang irigasi, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Dalam hal terjadi hambatan kelembagaan P3A Mitra Cai yang menyebabkan tidak berfungsinya perkumpulan P3A Mitra Cai sebagai pengelola irigasi, Pemerintah Daerah berkoordinasi dengan Pemerintah Kabupaten/Kota, dapat memfasilitasi penyelesaian permasalahan.

BAB VI
PENGELOLAAN AIR IRIGASI
Bagian Kesatu
Pengakuan atas Hak Ulayat
Pasal 14
Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya dalam pengelolaan sumber daya air, mengakui hak ulayat masyarakat hukum adat setempat dan hak sejenis yang berkaitan dengan penggunaan air dan sumber air untuk irigasi, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan umum dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Kedua
Hak Guna Air untuk Irigasi, Hak Guna Pakai Air
dan Hak Guna Usaha Air
Paragraf 1
Umum
Pasal 15
Hak guna air untuk irigasi berupa hak guna pakai air untuk irigasi dan hak guna usaha air untuk irigasi.

Paragraf 2
Hak Guna Pakai Air
Pasal 16
(1) Hak guna pakai air untuk irigasi diberikan untuk pertanian rakyat.
(2) Hak guna pakai air memerlukan izin dalam hal :
a. Cara menggunakannya dilakukan dengan mengubah kondisi alami sumber air dan/atau jaringan irigasi yang ada;
b. Ditujukan untuk keperluan kelompok yang memerlukan air dalam jumlah besar atau melebihi kebutuhan air yang ditetapkan oleh Komisi Irigasi yang bersangkutan;
c. Digunakan untuk pertanian rakyat di luar jaringan irigasi yang sudah ada.
(3) Hak guna pakai air untuk irigasi diterbitkan oleh Gubernur atau Bupati/Walikota sesuai kewenangannya masing-masing, berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Paragraf 3
Hak Guna Usaha Air
Pasal 17
(1) Hak guna usaha air untuk irigasi diberikan bagi keperluan pengusahaan di bidang pertanian.
(2) Hak guna usaha air untuk irigasi bagi keperluan pengusahaan di bidang pertanian dapat diperoleh dengan mengajukan permohonan izin prinsip alokasi air kepada Gubernur atau Bupati/Walikota, sesuai dengan kewenangannya masing-masing.
(3) Pengembang yang akan melaksanakan pembangunan sistem irigasi baru, atau peningkatan sistem irigasi yang sudah ada, harus mengajukan permohonan izin prinsip alokasi air kepada Gubernur atau Bupati/Walikota, sesuai dengan kewenangannya masing-masing.
(4) Hak guna usaha air untuk irigasi diberikan kepada badan usaha, badan sosial atau perseorangan berdasarkan izin yang dikeluarkan oleh Gubernur atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya masing-masing, berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Hak guna usaha air untuk irigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan untuk daerah pelayanan tertentu paling lama 10 (sepuluh) tahun dan dapat diperpanjang.

Bagian Ketiga
Penyediaan Air Irigasi dan Rencana Tata Tanam
Pasal 18
(1) Penyediaan air irigasi bagi pertanian rakyat dalam sistem irigasi yang sudah ada merupakan prioritas utama dalam penyediaan air, untuk memberikan perlindungan dan jaminan hak guna pakai air untuk irigasi bagi P3A Mitra Cai, dan direncanakan berdasarkan pada prakiraan ketersediaan air pada sumbernya dan digunakan sebagai dasar penyusunan rencana tata tanam.
(2) Penyediaan air irigasi ditujukan untuk mendukung produktivitas lahan dalam rangka meningkatkan produksi pertanian yang optimal dengan tetap memperhatikan keperluan lainnya.
(3) Penyediaan air irigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan sampai batas tertentu untuk pemenuhan kebutuhan lainnya.
(4) Penyediaan air irigasi dilakukan berdasarkan rencana tata tanam yang disusun oleh Dinas dan Dinas terkait bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten/Kota dengan mempertimbangkan usulan P3A Mitra Cai.
(5) Dalam hal pelaksanaan tanam menyimpang dari rencana tata tanam yang telah ditetapkan, petani yang bersangkutan tidak berhak mendapatkan air irigasi.
Pasal 19
(1) Dalam penyediaan air irigasi, Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya mengupayakan:
a. Optimalisasi pemanfaatan air irigasi pada daerah irigasi atau antar daerah irigasi;
b. Keandalan ketersediaan air irigasi serta pengendalian dan perbaikan mutu air irigasi dalam rangka penyediaan air irigasi.
(2) Dalam hal terjadi kekeringan pada sumber air dan/atau kondisi tertentu yang mengakibatkan diperlukannya substitusi atau suplesi air irigasi, Pemerintah Daerah bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten/Kota mengupayakan tambahan pasokan air irigasi dari sumber air lainnya atau melakukan penyelesaian pengaturan air irigasi, setelah mempertimbangkan masukan dari Komisi Irigasi.
(3) Dalam hal penyediaan tambahan air sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak terpenuhi, Gubernur atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya meninjau dan menetapkan kembali rencana penyediaan air irigasi sesuai dengan asas keadilan dan keseimbangan serta mengupayakan agar tanaman tidak terjadi puso.
Bagian Kelima
Drainase
Pasal 20
(1) Setiap pembangunan jaringan irigasi dilengkapi dengan jaringan drainase, yang merupakan satu kesatuan dengan jaringan irigasi yang bersangkutan.
(2) Pemerintah Daerah bersama-sama dengan Pemerintah Kabupaten/Kota, P3A Mitra Cai dan masyarakat menjaga dan/atau meningkatkan kelangsungan fungsi drainase.
(3) Masyarakat dapat memfungsikan kembali air drainase untuk keperluan pertanian dengan mendapat izin dari Dinas atau Pemerintah Kabupaten/Kota sesuai kewenangannya berdasarkan usulan P3A Mitra Cai, sepanjang tidak mengganggu fungsi drainase.
(4) Air drainase sedapat mungkin diupayakan untuk dipergunakan kembali sesuai dengan kaidah konservasi.

Bagian Keenam
Penggunaan Air untuk Irigasi Langsung dari Sumber Air
Pasal 21
(1) Setiap pemakai air yang menggunakan air untuk irigasi di luar daerah irigasi yang telah ditetapkan dengan cara mengambil langsung dari sumber air permukaan, harus mendapat izin dari Gubernur, kecuali untuk kebutuhan pokok sehari-hari dan pertanian rakyat dan/atau irigasi desa.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan air untuk irigasi dengan cara mengambil langsung dari sumber air permukaan, ditetapkan oleh Gubernur.
(3) Penggunaan air untuk seluruh daerah irigasi dilaksanakan dengan mengutamakan pendayagunaan sumber-sumber air permukaan dan pembatasan penggunaan air tanah yang berasal dari cekungan air tanah, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB VI
PENGEMBANGAN DAN PENGELOLAAN JARINGAN IRIGASI
Bagian Kesatu
Pengembangan
Paragraf 1
Pembangunan Jaringan Irigasi
Pasal 22
(1) Pembangunan jaringan irigasi dilaksanakan berdasarkan Rencana Induk Pengelolaan Sumberdaya Air di Wilayah Sungai dengan memperhatikan rencana pembangunan pertanian.
(2) Pembangunan jaringan irigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapat izin dan persetujuan desain dari Pemerintah Daerah dan Pemerintah Kabupaten/Kota sesuai kewenangannya masing-masing.
(3) Pembangunan jaringan irigasi primer dan sekunder merupakan tanggungjawab Pemerintah Daerah dan/atau Pemerintah Kabupaten/Kota sesuai dengan kewenangannya masing-masing, dan dapat dilakukan oleh P3A Mitra Cai berdasarkan izin dari Pemerintah Daerah atau Pemerintah Kabupaten/Kota.
(4) Pembangunan jaringan irigasi desa merupakan tanggung jawab Pemerintah Desa.
(5) Pembangunan jaringan irigasi tersier menjadi hak dan tanggung jawab P3A Mitra Cai yang bersangkutan.

Paragraf 2
Peningkatan Jaringan Irigasi
Pasal 23
(1) Peningkatan jaringan irigasi dilaksanakan berdasarkan Rencana Induk Pengelolaan Sumberdaya Air di Wilayah Sungai dengan memperhatikan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota serta rencana pembangunan pertanian.
(2) Peningkatan jaringan irigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapat izin dan persetujuan desain dari Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya.
(3) Pemerintah Daerah dan/atau Pemerintah Kabupaten/Kota bertanggung jawab terhadap peningkatan jaringan irigasi primer dan sekunder, sesuai dengan kewenangannya masing-masing.
(4) Peningkatan jaringan irigasi primer dan sekunder dapat dilakukan oleh P3A Mitra Cai berdasarkan izin dari Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya.
(5) Peningkatan jaringan irigasi desa merupakan kewenangan Pemerintah Desa.
(6) Peningkatan jaringan irigasi tersier menjadi hak dan tanggung jawab P3A Mitra Cai yang bersangkutan.

Pasal 24
(1) Perubahan dan/atau pembongkaran jaringan irigasi primer dan sekunder yang mengakibatkan perubahan bentuk dan/atau fungsi jaringan irigasi primer dan sekunder dalam rangka peningkatan jaringan irigasi, harus mendapat izin dari Gubernur sesuai kewenangannya.
(2) Perubahan dan/atau pembongkaran jaringan irigasi tersier yang mengakibatkan perubahan bentuk dan/atau fungsi jaringan irigasi tersier dalam rangka peningkatan jaringan irigasi, harus mendapat persetujuan dari P3A Mitra Cai yang bersangkutan.
(3) Perubahan dan/atau pembongkaran sumur pompa dan bangunan fasilitas irigasi air tanah, harus mendapatkan izin dari Gubernur sesuai kewenangannya.

Bagian Kedua
Pengelolaan
Paragraf 1
Operasi dan Pemeliharaan Jaringan Irigasi
Pasal 25
(1) Operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi primer dan sekunder menjadi wewenang dan tanggung jawab Pemerintah Daerah dan/atau Pemerintah Kabupaten/Kota, sesuai kewenangannya masing-masing.
(2) P3A Mitra Cai dapat berperan serta dalam operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi primer dan sekunder serta melakukan pengawasan.
(3) Operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi tersier menjadi hak dan tanggung jawab P3A Mitra Cai.

Pasal 26
(1) Untuk keperluan pemeriksaan dan pemeliharaan jaringan irigasi, Dinas sesuai kewenangannya menetapkan waktu pengeringan dan bagian jaringan irigasi yang harus dikeringkan, setelah berkoordinasi dengan Pemerintah Kabupaten/Kota dan P3A Mitra Cai.
(2) Dalam rangka pengamanan jaringan irigasi beserta bangunan-bangunannya, ditetapkan garis sempadan pada jaringan irigasi untuk pendirian bangunan dan pembuatan pagar.
(3) Untuk mencegah hilangnya air irigasi dan rusaknya jaringan irigasi, Dinas menetapkan larangan membuat galian pada jarak tertentu di luar garis sempadan.

Paragraf 2
Rehabilitasi Jaringan Irigasi
Pasal 27
(1) Rehabilitasi jaringan irigasi dilaksanakan berdasarkan urutan prioritas kebutuhan perbaikan irigasi yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah setelah memperhatikan pertimbangan Komisi Irigasi, dan harus mendapat izin dan persetujuan desain dari Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya.
(2) Pemerintah Daerah dan/atau Pemerintah Kabupaten/Kota sesuai kewenangannya masing-masing, bertanggung jawab terhadap rehabilitasi jaringan irigasi primer dan sekunder yang dilaksanakan secara partisipatif.
(3) Rehabilitasi jaringan irigasi desa merupakan kewenangan Pemerintah Desa.
(4) Rehabilitasi jaringan irigasi tersier menjadi hak dan tanggungjawab P3A Mitra Cai.
(5) P3A Mitra Cai bertanggung jawab dalam rehabilitasi jaringan irigasi yang dibangunnya.
(6) Rehabilitasi jaringan irigasi yang mengakibatkan perubahan dan/atau pembongkaran jaringan irigasi primer dan sekunder, harus mendapat izin dari Gubernur.
(7) Rehabilitasi jaringan irigasi yang mengakibatkan perubahan dan/atau pembongkaran jaringan irigasi tersier, harus mendapat persetujuan dari P3A Mitra Cai yang bersangkutan.
Pasal 28
(1) Waktu pengeringan yang diperlukan untuk kegiatan rehabilitasi dan peningkatan jaringan irigasi, harus dijadualkan dalam rencana tata tanam.
(2) Waktu pengeringan yang diperlukan untuk kegiatan rehabilitasi yang telah direncanakan, rehabilitasi akibat keadaan darurat atau peningkatan jaringan irigasi, dilakukan paling lama 6 (enam) bulan.
BAB VII
PENGELOLAAN ASET
Pasal 29
(1) Pengelolaan aset irigasi meliputi inventarisasi, perencanaan, pengelolaan dan evaluasi pengelolaan aset irigasi serta pemutakhiran hasil inventarisasi aset irigasi, yang tata caranya ditetapkan oleh Gubernur.
(2) Inventarisasi aset irigasi meliputi inventarisasi jaringan irigasi, fasilitas pendukung pengelolaan irigasi, lembaga pengelola irigasi dan sumberdaya manusia.
(3) Pemerintah Daerah, Pemerintah Kabupaten/Kota dan P3A Mitra Cai sesuai kewenangan masing-masing, melaksanakan inventarisasi aset irigasi.
(4) Pemutakhiran hasil inventarisasi aset irigasi dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya.
(5) Pemerintah Daerah dan P3A Mitra Cai melaksanakan pengelolaan aset irigasi serta melakukan monitoring dan evaluasi sesuai kewenangannya.

BAB VIII
PEMBIAYAAN
Pasal 30
(1) Pembiayaan pengembangan dan pengelolaan jaringan irigasi menjadi tanggungjawab Pemerintah Daerah, Pemerintah Kabupaten/Kota, Pemerintah Desa dan P3A Mitra Cai, sesuai kewenangannya.
(2) Pemerintah Daerah dan Pemerintah Kabupaten/Kota dapat membantu Pemerintah Desa dan/atau P3A Mitra Cai dalam pembiayaan pengembangan dan pengelolaan jaringan irigasi.
(3) Dalam hal terdapat kepentingan mendesak Pemerintah Daerah dapat mengalokasikan pembiayaan pengelolaan untuk jaringan irigasi pada daerah irigasi tertentu.
(4) Pembiayaan operasional Komisi Irigasi Provinsi dan Forum Koordinasi Daerah Irigasi Provinsi menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah.
(5) Pengguna jaringan irigasi turut serta dalam pembiayaan pengelolaan jaringan irigasi yang dibangun oleh Pemerintah Daerah.

BAB IX
KEBERLANJUTAN IRIGASI
Pasal 31
(1) Untuk menjamin kelestarian fungsi dan manfaat jaringan irigasi, Gubernur mengendalikan alih fungsi lahan beririgasi di Daerah.
(2) Pemerintah Daerah dan Pemerintah Kabupaten/Kota sesuai kewenangannya masing-masing, secara terpadu menetapkan wilayah potensial irigasi dalam rangka mendukung perwilayahan komoditi pertanian, yang dijadikan dasar dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah.

Pasal 32
(1) Pengelolaan kualitas air irigasi dilakukan dengan cara memperbaiki kualitas air pada sumber air dan jaringan irigasi, melalui:
a. penetapan kelas air dan baku mutu air pada jaringan irigasi;
b. pemantauan kualitas air pada jaringan irigasi;
c. pengendalian dan penanggulangan pencemaran air pada jaringan irigasi;
d. perbaikan fungsi lingkungan untuk mengendalikan kualitas air irigasi.
(2) Pembuangan air limbah ke jaringan pembuang atau jaringan irigasi dilakukan dengan izin dari pejabat yang berwenang, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB X
LARANGAN
Pasal 33
(1) Setiap orang dilarang :
a. Menyadap air dari saluran pembawa, selain pada tempat yang telah ditentukan;
b. Menggembalakan dan menambatkan ternak besar pada atau di atas jaringan irigasi;
c. Membuang benda padat dengan atau tanpa alat mekanis yang dapat berakibat menghambat aliran, mengubah sifat air serta merusak bangunan jaringan irigasi, beserta tanah turutannya;
d. Membuat galian atau membuat selokan panjang, saluran dan bangunan-bangunannya di daerah sempadan jaringan irigasi, yang dapat mengakibatkan terjadinya kebocoran dan mengganggu stabilitas saluran serta bangunannya;
e. Merusak dan/atau mencabut tanaman pelindung yang ditanam pada tanggul saluran dan pada tanah turutan bangunan-bangunannya;
f. Menanam jenis tanaman tertentu pada tanggul dan/atau tanah turutan bangunan yang dapat merusak tanggul;
g. Menghalangi atau merintangi kelancaran jalannya air irigasi dengan cara apapun;
h. Mendirikan bangunan di dalam daerah sempadan saluran kecuali bangunan yang mendukung peningkatan irigasi;
i. Melakukan kegiatan yang dapat mengganggu fungsi drainase;
j. Merusak bangunan, pintu air dan/atau saluran irigasi yang telah dibangun;
k. Menambah dan/atau merubah fungsi pada bangunan fasilitas sumur pompa;
l. Menyewakan atau memindahtangankan sebagian atau seluruh hak guna air sebagaimana dimaksud pada Pasal 15, 16 dan 17.
(2) Untuk meningkatkan dan/atau mempertahankan fungsi irigasi, Dinas dapat mengadakan perubahan dan/atau pembongkaran bangunan-bangunan dalam jaringan irigasi maupun bangunan pelengkapnya, mendirikan, mengubah atau membongkar bangunan-bangunan lain yang berada di dalam, di atas maupun melintasi saluran irigasi.

BAB XI
PENYIDIKAN
Pasal 34
(1) Selain Pejabat Penyidik POLRI yang bertugas menyidik tindak pidana, penyidikan atas tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Daerah ini dapat dilakukan oleh Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS).
(2) Dalam melaksanakan tugas penyidikan, para penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:
a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana;
b. melakukan tindakan pertama pada saat itu di tempat kejadian dan melakukan pemeriksaan;
c. menyuruh berhenti seseorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
d. melakukan penyitaan benda dan/atau surat;
e. mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
f. memanggil seseorang untuk dijadikan tersangka atau saksi;
g. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
h. menghentikan penyidikan setelah mendapat petunjuk dari Penyidik Umum bahwa tidak terdapat cukup bukti, atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana, dan selanjutnya melalui Penyidik Umum memberitahukan hal tersebut kepada Penuntut Umum, tersangka dan keluarganya;
i. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.
(3) Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dalam melaksanakan tugasnya sebagai penyidik, berada di bawah koordinasi penyidik POLRI.
BAB XII
SANKSI ADMINISTRASI
Pasal 35
(1) Terhadap perbuatan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 33 huruf l, dikenakan sanksi administrasi berupa pencabutan izin.
(2) Selain sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 33 huruf l dikenakan sanksi penegakan hukum berupa pembongkaran bangunan.

BAB XIII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 36
(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 33, diancam pidana kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelanggaran.
(3) Selain tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tindak pidana terhadap perusakan jaringan irigasi yang mengakibatkan kerusakan fungsi irigasi, dikenakan ancaman pidana sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Dalam hal tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana yang lebih tinggi dari ancaman pidana dalam Peraturan Daerah ini, maka diberlakukan ancaman pidana yang lebih tinggi.
(5) Denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penerimaan Daerah dan disetorkan ke Kas Daerah Provinsi Jawa Barat.







BAB XIV
PEMBINAAN, PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN
Pasal 37
Untuk mengupayakan tercapainya tujuan pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi, Pemerintah Daerah melakukan pembinaan, pengawasan dan pengendalian terhadap seluruh proses pelaksanaan pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi pada setiap daerah irigasi.
Pasal 38
(1) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada Pasal 37 meliputi kegiatan:
a. pemantauan dan evaluasi agar sesuai dengan norma, standar, pedoman dan manual;
b. pelaporan;
c. pemberian rekomendasi; dan
d. penertiban.
(2) Pemerintah Daerah melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan melibatkan peran masyarakat, melalui penyampaian laporan dan/atau pengaduan kepada pihak yang berwenang.
(3) Dalam rangka pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah Daerah menyediakan informasi pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi secara terbuka untuk umum.
(4) Pemerintah Daerah di dalam pengendalian pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi, harus mendukung keberlanjutan sistem irigasi.

BAB XV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 39
Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 2 Tahun 2004 tentang Irigasi (Lembaran Daerah Tahun 2004 Nomor 1 Seri C, Tambahan Lembaran Daerah Nomor 7), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 40
Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Peraturan Daerah ini, sepanjang mengenai teknis pelaksanaannya ditetapkan lebih lanjut oleh Gubernur.
Pasal 41
Selambat-lambatnya 1 (satu) tahun terhitung sejak berlakunya Peraturan Daerah ini, Peraturan Gubernur tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah harus telah ditetapkan.


Pasal 42
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Provinsi Jawa Barat.


Ditetapkan di Bandung
pada tanggal
GUBERNUR JAWA BARAT,



AHMAD HERYAWAN

Diundangkan di Bandung
pada tanggal

SEKRETARIS DAERAH PROVINSI
JAWA BARAT,



LEX LAKSAMANA

LEMBARAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT TAHUN 2008 NOMOR SERI

PERUBAHAN PARADIGMA DALAM PEMBANGUNAN KEIRIGASIAN (Sejak Tahun 1980-an)

1. Fokus Pembangunan : Kontruksi ~ Manajemen
2. Sifat Pembangunan : Top - Down ~ Bottom Up
3. Pola Partisipasi : Partial (turut serta) ~ Hollistik (pemberdayaan)
4. Peran Pemerintah : Provider ~ Enable

PENGERTIAN

LEMBAGA PENDAMPINGAN :
adalah pola perilaku manusia atau suatu badan, interaksi sosial, dan nilai-nilai yang ditujukan dalam upaya pemberdayaan masyarakat.

PEMBERDAYAAN :
adalah upaya untuk memperkuat posisi seseorang atau sekelompok orang, melalui penumbuhan kesadaran dan kemampuan yang bersangkutan untuk mengidentifikasi persoalan yang dihadapi dan mencari langkah-langkah untuk mengatasinya.

Prinsip Dasar Pendampingan dan Pemberdayaan

DASAWARSA PEMIKIRAN PEMBANGUNAN:

1.Periode Kolonisasi atau Sejarah 500 tahun (1492 - 1950)
2.Periode Modernisasi atau Tahun 2 Emas (1950-an)
3.Periode Kemerdekaan dan Ketergantungan (1960-an)
4.Periode Menetes ke Bawah (1970-an)
5.Periode Dasawarsa yang hilang (1980-an)
6.Periode Partisipasi Rakyat (1990-an sampai kini)

PERISTIWA PENTING PADA PERIODE PARTISIPASI RAKYAT
1. Munculnya gerakan rakyat (people movement)
2. Resesi Negara Utara
3. Pembangunan Manusia (human development)
4. Pertemuan KTT Bumi di Rio

PERUBAHAN PENTING PADA PERIODE PARTISIPASI
1. Dikenalkan pendekatan holistik yakni pengintegrasian antara:
. Aksi dengan refleksi
. Teori dengan praktek
. Pendidikan dengan pembelajaran
. Sosial /politik dengan ekonomi
2. Perubahan indikator keberhasilan pembangunan:
. GNP (Gross National Product)  HDI (Human Development Index)
. Pertumbuhan Ekonomi  Partisipasi Warganegara
3. Perubahan pendekatan pembangunan:
. Tergantung Negara Utara  Kemandirian Negara Selatan
. Bertumpu pada elit (elite centered strategy)  Bertumpu pada rakyat (People Centered Strategy)

Jumat, 13 November 2009

gotong-royong, benteng terakhir kearifan lokal


Apa pun konteksnya nama gotong-royong selalu dikaitkan dengan aktivitas atau kegiatan yang selalu dilakukan secara bersama-sama. Gotong royong selalu berangkat dari ide dan konsep partisipasi masyarakat kelas bawah. kenapa demikian? sebab, jika kita melihat struktur sosial yang ada dimasyarakat. masyarakat kita sebetulnya telah dari dulu menyadari, bahwa untuk menyelesaikan sebuah ide, gagasan bahkan sebuah konsep harus berangkat dari kesadaran kolektif. sebab, jika mengandalkan individu (hanya sedikit yang kaya~cenderung feodalis) masyarakat niscaya sebuah gagasan untuk kepentingan bersama tidak akan terwujud. Berangkat dari ketidakmampuan masyarakat secara materi, terjalinlah kesadaran individu-individu itu untuk mengumpulkan seluruh kemampuan dan kekuatan yang ada, dengan berprinsip duduk sama rendah berdiri sama tinggi. Dan, budaya tersebut telah terbentuk sudah sejak lama. Jika melihat dari perspektif sejarah umat manusia, gotong-royong adalah sebuah keniscayaan seluruh umat manusia sebagai bekal untuk bertahan hidup demi kelangsungan hidup dan kehidupan. jika kita yang hanya memonopoli kebenaran tersebut (karakter gotong-royong), sepertinya terlalu ke-PD-an, sebab, kalau pun benar gotong-royong itu hanya milik karakter bangsa kita, kenapa bangsa kita selalu lamban untuk menentukan nasib bangsanya ke depan. Saya tergugah dan takjub, ketika bangsa jepang yang porak-poranda terkena bom nuklir terdahsyat di dunia, atau bangsa Jerman yang hancur akibat kalah perang, tetapi bangsa-bangsa tersebut mampu bangkit kembali secara serempak. Mereka mampu menunjukkan bahwa bangsa mereka lebih bahu-membahu untuk bangkit dari keterpurukan mental dan peradaban. Tidak sampai sewindu, bangsa jepang dan Jerman mampu berdiri di kaki sendiri. Contoh tersebut mudah-mudahan mampu menginsyafi kita semua yang selalu mengklaim bangsa yang paling arif dalam hal bahu-membahu dalam menentukan konsensus atau pun dalam pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan bersama (gotong-royong). Ke depan janganlah kita terlena dengan kebanggaan semu warisan dongeng gotong-royong semata, tetapi mampu membumi, menyata dalam setiap gerak langkah manusia-manusia Indonesia.