Minggu, 27 Desember 2009

laporan Penyusunan PSETK

I. Tahapan Penyusunan Gambaran Umum Daerah Irigasi Nagrog
Gambaran umum adalah informasi mengenai daerah yang di jadikan sasaran program WISMP. Gambaran umum ini berisi tentang kondisi geografis, sejarah perkembangan Daerah Irigasi Nagrog, Organisasi GP3A dan P3A, struktur organisasi dan wilayah kerja

II. Tahapan Penyusunan Profil Kelembagaan
Tahapan ini adalah tahapan dimana pendamping (TPM) menginventarisir dan mengidentifikasi perkembangan lembaga GP3A dan P3A. cara yang saya lakukan adalah melakukan wawancara dengan para pengurus GP3A dan P3A, pendamping juga melakukan wawancara dengan mantri cai serta para petani yang tergabung atau pun yang tidak tergabung dalam organisasi GP3A dan P3A, proses tersebut dilakukan agar informasi tentang lembaga GP3A dan P3A lebih menyeluruh.
Ada pun hasil dari wawancara tersebut adalah: mengetahui nama lembaga GP3A dan P3A, nama-nama pengurus GP3A dan P3A, keanggotaan GP3A dan P3A, luas wilayah GP3A dan P3A, jumlah anggota berdasarkan kelompok/blok, rencana kerja GP3A dan P3A dan pemberdayaan organisasi serta kinerja organisasi.

III. Tahapan Penyusunan Profil Sosial
Tahapan ini adalah tahapan untuk lebih memahami kondisi sosial masyarakat petani di sekitar Daerah Irigasi (DI) Nagrog. Cara yang saya lakukan adalah dengan menginventarisir dan mengidentifikasi di wilayah dampingan. Selain itu pendaping juga melakukan wawancara dengan individu, kelompok masyarakat serta Para pengurus GP3A dan P3A sebagai narasumbernya. Wawancara dilakukan untuk lebih menggali dan lebih dalam memahami kondisi masyarakat petani di sekitar Daerah Irigasi (DI) Nagrog.
Ada pun hasil dari wawancara tersebut adalah: dapat mengetahui tingkat gotongroyong, hubungan kemasyarakatan, tingkat pendidikan petani, status petani, dan permasalahan sosial yang ada dilokasi Daerah Irigasi Nagrog.

IV. Tahapan Penyusunan Profil Ekonomi
Penyusunan profil ekonomi ini dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana perkembangan para pelaku ekonomi, luas dan jenis usaha tani, tingkat pendapatan rumah tangga petani, potensi sumberdaya lokal dan struktur mata pencaharian masyarakat yang ada di sekitar wilayah Daerah Irigasi Nagrog. Cara yang saya lakukan adalah dengan cara menyusuri perkampungan dan melakukan wawancara.

V. Tahapan Penyusunan Profil Teknis
Profil teknis dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana kondisi sarana irigasi dan sejauh mana tingkat partisipasi masyarakat dalam operasi dan pemeliharaan saluran irigasi. Cara yang saya lakukan adalah dengan cara melakukan penelusuran jaringan dari Hm: 0 sampai ke Hm: 92. dalam penelusuran jaringan tersebut, saya, mantri cai/juru pengairan beserta pengurus GP3A dan P3A melakukan diskusi untuk menentukan titik-titik mana yang akan dibangun dan titik-titik mana yang akan dilakukan gotong-royong serta jenis kegiatan apa yang akan dilakukan dalam rangka OP (operasi dan pemeliharaan) saluran irigasi.

Sabtu, 26 Desember 2009

PSETK 2009

BAB I
Pendahuluan

1.1 Latar Belakang
Seiring dengan perkembangan reformasi kebijakan pengelolaan irigasi sebagaimana yang diamanatkan dalam undang-undang No. 07 tahun 2004 tentang Sumberdaya Air dan peraturan pemerintah No. 20 tahun 2006 tentang irigasi antara lain di arahkan untuk memperkuat Lembaga Pengelola Irigasi (LPI). Salah satu Lembaga Pengelola Irigasi (LPI) yang perlu ditingkatkan kemampuannya adalah organisasi Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A/GP3A/IP3A) pada daerah irigasi.
Program WISMP-APL 1 dilaksanakan melalui konsep strategis PPSIP (Pengembangan dan Pengelolaan Sistem Irigasi Partisipatif), di mana para penerima manfaat (para petani pemakai air) tidak hanya bersikap pasif, akan tetapi akan bersikap aktif dan proaktif dengan menjadi mitra dalam melaksanakan berbagai kegiatan pengelolaaan irigasi. Sehingga permasalahan di lapangan betul-betul dapat diselesaikan, sesuai dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat petani. Dengan berpegang pada kata kunci program WISMP, yang menitikberatkan kepada pembangunan ekonomi masyarakat petani yang berkelanjutan. Maka, sangat dibutuhkan instrumen pemberdayaan yang sesuai dengan tujuan tersebut.
Instrumen perencanaan dalam konteks kebutuhan program pemberdayaan masyarakat telah banyak dikembangkan. Salah satu instrumen yang cukup tepat untuk digunakan dalam rangka program penguatan dan pengembangan organisasi P3A/GP3A/IP3A adalah dengan menggali Profil Sosio Ekonomi Teknis dan Kelembagaan (PSETK). Sehingga Lembaga Pengelola Irigasi (LPI) dapat melakukan proses perencanaanprogram pemberdayaan organisasi P3A/GP3A/IP3A, tidak hanya dalam meningkatkan kinerja pengelolaan irigasi partisipatif yang lebih efektif dan efisien saja, akan tetapi dapat juga melakukan perencanaan dalam membantu mensejahterakan masyarakat petani dengan melakukan upaya peningkatan produktivitas hasil pertanian dan diversifikasi usaha pertanian berbasis potensi lokal.
Salah satu upaya untuk memberdayakan dan peningkatan kemampuan Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) ke arah yang lebih baik dalam pengelolaan jaringan irigasi adalah dengan menghadirkan tenaga pendamping masyarakat bagi Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A). Peran pendamping dalam konteks tersebut adalah sebagai fasilitator, katalisator, motivator dan dinamisator dalam meningkatkan kinerja pemberdayaan Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A), sehingga dapat mendorong dan menumbuh kembangkan semangat petani untuk berdaya dalam pembangunan partisipatif (pengambilan keputusan dan swadaya) pengelolaan irigasi di wilayahnya masing-masing.

1.2 Maksud dan Tujuan
Profil Sosio Ekonomi Teknis dan Kelembagaan (PSETK) dengan proses penggalian permasalahan/kebutuhan nyata, dilakukan melalui proses pendekatan partisipasi masyarakat petani yang dilakukan secara terpadu dan terencana (Participatory Approach) atau yang lebih dikenal dengan istilah Pemahaman Partisipatif Kondisi Daerah Irigasi (PPKDI) dimaksudkan sebagai media atau instrumen dalam membantu pemahaman Lembaga Pengelola Irigasi (LPI) serta pihak-pihak yang berkompeten dengan permasalahan irigasi, dapat memiliki kemampuan dalam merencanakan program pemberdayaan organisasi P3A/GP3A/IP3A menuju peningkatan kinerja pengelolaan irigasi partisipatif yang efektif dan efisien.
1. Meningkatkan pemahaman dan kemampuan Lembaga Pengelola Irigasi (LPI) dan pengguna lainnya dalam mengidentifikasi kebutuhan data, sumber data dan pemahaman terhadap prinsip-prinsip pelaksanaan kegiatan Profil Sosio Ekonomi Teknis dan Kelembagaan (PSETK) melalui metode Pemahaman Partisipatif Kondisi Daerah Irigasi (PPKDI).
2. Meningkatkan kemampuan Lembaga Pengelola Irigasi (LPI) dan pengguna lainnya dalam persiapan, pelaksanaan dn tindak lanjut hasil PSETK.
3. Meningkatkan kemampuan Lembaga Pengelola Irigasi (LPI) dan pengguna lainnya dalam merumuskan program kerja permberdayaan organisasi P3A/GP3A/IP3A selanjutnya, menuju peningkatan kinerja pengelolaan irigasi partisipatif yang efektif dan efisien serta kesejahteraan anggota organisasi P3A/GP3A/IP3A.

1.3 Lingkup Kegiatan
Ruang lingkup kegiatan Profil Sosio Ekonomi Teknis dan Kelembagaan (PSETK) dengan metode Pemahaman Partisipatif Kondisi Daerah Irigasi (PPKDI) antara lain mencakup kegiatan sebagai berikut:
• Identifikasi data dan sumber data;
• Peningkatan pemahaman dan kemampuan pengguna metode Pemahaman Partisipatif Kondisi Daerah Irigasi (PPKDI) dalam pelaksanaan kegiatan Profil Sosio Ekonomi Teknis dan Kelembagaan (PSETK);
• Identifikasi kebutuhan dan persiapan kegiatan;
• Pelaksanaan kegiatan Profil Sosio Ekonomi Teknis dan Kelembagaan (PSETK) berdasarkan metode Pemahaman Partisipatif Kondisi Daerah Irigasi (PPKDI) dengan pendekatan partisipatif melalui penelusuran jaringan bersama; dan
• Perumusan tindak lanjut hasil kegiatan Profil Sosio Ekonomi Teknis dan Kelembagaan (PSETK) sebagai dasar perumusan program kerja.


1.4 Tahapan Pelaksanaan

























1.5 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan Profil Sosio Ekonomi Teknis dan Kelembagaan (PSETK) Daerah Irigasi Nagrog tahun 2009, adalah sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Berisi latar belakang, maksud dan tujuan, lingkup kegiatan dan tahapan pelaksanaan Profil Sosio Ekonomi Teknis dan Kelembagaan (PSETK) serta sistematika penulisan.
BAB II GAMBARAN UMUM
Berisi gambaran umum Kecamatan Pasir Kuda, sejarah perkembangan Daerah Irigasi serta wilayah kerja
BAB III PROFIL SOSIAL EKONOMI
Berisi tingkat swadaya masyarakat, hubungan kemasyarakatan, tingkat pendidikan petani, status kepemilikan lahan serta permasalahan sosial ekonomi yang terjadi serta alternatif pemecahannya.
BAB IV PROFIL TEKNIS
Berisi data umum daerah irigasi, air dan kelestarian sumber air, kondisi fisik jaringan, program kerja, pemberdayaan organsisasi P3A/GP3A/IP3A dan permasalahan kelembagaan serta alternatif pemecahannya.
BAB V PROFIL KELEMBAGAAN
Berisi Nama Lembaga, Pengurus Lembaga GP3A/P3A, STRUKTUR ORGANISASI GP3A, Keanggotaan, Luas Wilayah Kerja, Jumlah Anggota Berdasarkan Kelompok/Blok, Rencana Kerja, Pemberdayaan Organisasi P3A/GP3A, Kinerja Organisasi P3A/GP3A.
BAB VII ANALISIS DAN REKOMENDASI
Berisi analisi dan rekomendasi
BAB VIII PENUTUP
LAMPIRAN
BAB II
GAMBARAN UMUM

2.1 Gambaran Umum Daerah Irigasi Nagrog
2.1.1 Umum
Kondisi geografis

Kecamatan Pasir Kuda, mempunyai luas daerah 1.099,362 Ha dengan luas tanah sawah 173,739 Ha dan luas tanah daarat 925,623 Ha. Jumlah penduduk 36.588 orang, laki-laki: 17.883 orang dab perempuan: 18.244 orang. Tanah menurut penggunaannya: perumahan 179.942 Ha dan lain-lain 10.447 Ha. Tanah menurut status: hak milik wakaf: 8.138,38 Ha; Tanah kas Desa: 125,04 Ha; dan Tanah Kehutanan: 1.783,43 Ha. Tingkat kesuburab tanah: Subur 7.034,30 Ha; dan kering 3.014,70 Ha (sumber: data monografi Kecamatan Pasir Kuda dalam tahun 2009)

Total luas Kabupaten Cianjur 350.146 Ha dengan jumlah penduduk berdasarkan BPS Kab. Cianjur tahun 2007 mencapai 2.138.465 jiwa yang terdiri dari 1.106.366 jiwa penduduk laki-laki dan 1.032.099 jiwa untuk penduduk perempuan. Luas tanah sawah 63.299 Ha dan luas tanah darat 286.849 Ha. Kepadatan rata-rata adalah 610 jiwa/km. Kepadatan terbesar berada di Kecamatan Cianjur dengan jumlh 6.484 jiwa/km dan kepadatan terendah berada di Kecamatan Naringgul yaitu 186 jiwa/km. (sumber: BPS, Kab. Cianjur dalam angka 2009)




2.2 Sejarah Perkembangan DI Nagrog
Daerah irigasi Nagrog terletak di Kecamatam Pasir Kuda, lokasinya berjarak 90 km dari ibukota Kabupaten Cianjur. Mengairi 942 Ha dan memiliki panjang saluran 9,3 Hm, serta berada di hulu sungai Cilumut.
Saluran irigasi Nagrog mengairi 942 Ha sawah, yang terbentang dari Desa Simpang, Desa Mekarmulya, Desa Kubang, Desa Cilongsong dan Desa Padaluyu yang berbatasan langsung dengan Kecamatan Tanggeung.
Jika dilihat dari perspektif sejarah (verbal), sebenarnya Daerah Irigasi Nagrog pada awalnya tidak menjadi perhatian penting pemerintah pada saat itu (Belanda), sebab, mengingat kontur tanah dan berbagai aspek lainnya yang sangat tidak mendukung untuk membangun bendung sekaligus membangun sistem irigasi yang efektif di daerah tersebut.
Pembangunan saluran irigasi Nagrog di latarbelakangi oleh kebutuhan dan keinginan masyarakat setempat pada saat itu, untuk tetap bisa bertahan hidup (survive) dengan kemampuan dan potensi yang ada. Uniknya, ternyata masyarakat setempat sudah mampu beridiri sendiri (mandiri) untuk menyusun rencana samapi ke program aksi untuk melaksanakan seluruh kegiatan dengan tidak mengandalkan pihak-pihak di luar mereka. Maka, pada sekitar tahun 1930-1940 atas prakarsa 4 (empat) orang tokoh masyarakat, yaitu Baing fatah, Baing Ucih (kakek buyut Bp. H. Kosim, pada saat ini menjabat ketua GP3A Sauyunan), Baing Apad dan Baing Fiil. Pembangunan saluran irigasi dapat terlaksana walaupun dengan menggunakan peralatan yang sangat konvensional yaitu Bambu, dengan waktu yang relatif cukup lama.
Dengan kegigihan dan motivasi yang kuat dari kakek buyut mereka. Alhasil, Daerah Irigasi Nagrog menjadi pusat perhatian berbagai pihak, terutama pemerintah yang pada saat itu sedang menggalakkan swasembada beras untuk mendukung ketahanan pangan nasional (tahun 1980-an).
Salah satu bentuk perhatian pemerintah pada saat itu, pada tahun 1989 pemerintah membangunan satu bendung du hulu sungai Cilumut. Akan tetapi, pada tahun1987 sebelum pembangunan bendung dilaksanakan, sempat terjadi ketegangan antara masyarakat pengguna air khusunya dari masyarakat petani yang berada di Daerah Irigasi Cilumut-Pasirkerud (debit air yang berkurang). Pada akhirnya, ketegangan di antara masyarakat petani pemakai air dapat terselesaikan, itu semua tidak terlepas dari kesigapan pemerintah pada saat itu yang diwakili dinasi pengairan selaku mediator.
Daerah irigasi Nagrog dengan segala kekurangan dan kelebihannnya, sangat berbeda dengan daerah irigasi lainnya. Salah satunya dapat dilihat dari ide prakarsa atau gagasan pertama yang mengawalinya ditambah lagi sampai saat ini belum ada pembebasan tanah dari pemerintah.

2.2.1 Irigasi Nagrog
Saluran irigasi Nagrog mengairi 5 Desa, yaitu: Desa Simpang, Desa Mekarmulya, Desa Kubang, Desa Cilongsong dan Desa Padaluyu.
Tabel 1: Luas Sawah Berdasarkan Jenis Pengairannya
No Jenis Pengairan Luas (Ha)
1 Irigasi Teknis 442
2 Irigasi 1/2 Teknis 555
No Jenis Pengairan Luas (Ha)
3 Irigasi Sederhana 3036
4 Irigasi Non Teknis 1244
5 Tadah Hujan 1627
Total 6,904
Sumber: BPS, Cianjur dalam angka Tahun 2008
Dari tabel jenis pengairan di atas, terdapat luasan 71,50 Ha sawah yang terdiri dari irigasi teknis dengan lokasi di Desa Simpang, serta terdapat luasan 870,50 Ha sawah yang terairi oleh irigasi setengah teknis yang berlokasi di Desa Mekarmulya, Kubang, Cilongsong dan Desa Padaluyu.
Tabel 2: Luas Sawah Berdasarkan Jenis Pengairannya
Musim Tanam Debit (liter/detik) Keterangan
I >1000 Luber di Saluran Induk, rawan longsor (erosi)
II Antara 500-1000
III <500
Sumber, Hasil Survey, Responden Juru Pengairan
Tabel 3: Luas Areal yang Terairi Irigasi Nagrog
No Desa Luas (Ha) Keterangan
1 Simpang 72
2 Mekarmulya 349
3 Kubang 425
4 Cilongsong dan Padaluyu 96
Sumber: Juru Pengairan


Tabel 4: Kondisi Bangunan Irigasi
No Jenis Bangunan Jumlah Kondisi
1 Bendung 1 Rusak
2 Bendung Sadap 27 60% Rusak
3 Bangunan Bagi Sadap 2
4 Oncoran 18
5 Bangunan Got Miring 4 3 baik, 1 Rusak
6 Bangunan Talang 6 Baik
7 Bangunan Ukur 3 Rusak
8 Gorong-gorong Pembawa 8 2 Rusak
9 Bangunan Tertutup 12 2 Rusak
10 Pelimpah/Penguras 2 Rusak Berat
Sumber: Hasil Survey Penelusuran Jaringan Tahun 2009
Saluran irigasi terletak pada daerah curam (lamping: bahasa sunda), kondisi alam tersebut sangat rawan. Maka, di samping pemeliharaan, pembangunan dan perbaikan gorong-gorong tertutup, lining dan kirmir pun harus segera dilaksanakan untuk mengantisipasi bencana longsor, tanggul jebol dan pohon tumbang.

2.3 Organisasi GP3A/P3A
Jumlah P3A Mitra Cai terdapat 2 unit P3A dan Satu Gabungan P3A sebagai berikut:
a. P3A Mitra Cai Saluyu, yaitu penggabungan P3A mitra cai di wilayah kerja Desa Simpang dan Desa Mekarmulya;
b. P3A Mitra Cai Gotongroyong, yaitu penggabungan P3A Mitra Cai yang terdapat pada wilayah Desa Kubang, Desa Cilongsong dan Desa Padaluyu;
c. Kepengurusan GP3A Sauyunan, dipilih berdasarkan perwakilan dari seluruh anggota P3A yang ada.

2.3.1 Struktur Organisasi
Pada tanggal 29 juli 2007 telah terjadi pergantian kepengurusan, lokasi pemilihan bertempat di Balai Desa Mekarmulya dengan hasil perubahan posisi sekretaris, bendahara, badan pengawas dan humas. Pergantian dilakukan berdasarkan pertimbangan keaktifan dan kesibukan para pengurus yang diganti. Masa bakti kepengurusan disesuaikan dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) organisasi GP#A Sauyunan.
STRUKTUR ORGANISASI GP3A








Gambar 2: struktur organisasi GP3A Sauyunan

2.3.2 Luas Wilayah Kerja
Luas wilayah kerja GP3A Sauyunan 942 Ha, terdiri dari:
a. P3A Mitra Cai Saluyu : 396 Ha (Desa Simpang dan Desa Mekarmulya)
b. P3A Mitra Cai Gotong-royong : 546 Ha (Desa Kubang dan Desa Cilongsong/Padaluyu)
















BAB III
Profil Sosio Ekonomi

3.1 Aspek Sosial
3.1.1 Status Petani
Sebagian besar status petani di daerah hulu sungai adalah petani pemilik sekaligus penggarap. Sedangkan untuk bagian tengah dan hilir perimbangan antara pemilik dan penggarap. Komposisinya dapat dilihat dari table di bawah ini:
Table 3.1: Status Petani
No Status Petani Prosentase
1 Pemilik 20
2 Penggarap 20
3 Pemilik Penggarap 50
4 Sewa 10
5 lainnya -
Sumber: Hasil wawancara, responden Ketua GP3A dan Mantri Cai (Juru Pengairan)
3.1.2 Tingkat Pendidikan Petani
Untuk tingkat pendidikan petani rata-rat menyelesaikan pendidikannya pada bangku sekolah dasar (SD) atau dahulunya sekolah rakyat (SR) dan sebagian ada yang sempat melanjutkan ke pesantren-pesantren sebesar 90 %, untuk tingkat pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) sebesar 10 %. Dalam kaitannya dengan usia, struktur usia produktif rumah tangga petani pemakai air kebanyakan di antara usia18-50 tahun sebesar 60 %, sedangkan di atas 50 tahun sekitar 35 %, sisanya adalah usia di bawah 17 tahun.
3.1.3 Gotong-royong/Tingkat Swadaya Masyarakat
Kesadaran petani di DI Nagrog untuk melakukan gotong-royng masih bersifat insidentil akan tetapi ketika kegiatan dilaksanakan partisipasi warga sekitar daerah irigasi begitu baik dan antusias, sebab para petani di daerah irigasi masih memegang nilai-nilai kearifan yang luhur dalam kaitannya dengan proses pemeliharaan saluran. Akan tetapi keluhuran nilai-nilai kearifan itu tidak menjelma dalam bentuk kelompok (consensus), tetapi hanya pada individu-individu petani saja. Akibatnya setiap selesai dilaksanakannya kegiatan gotongroyong tidak dilanjutkan dengan perencanaan gotongroyong untuk selanjutnya.
3.1.4 Hubungan Kemasyarakatan
Dari fenomena di atas, secara otomatis hubungan kemasyarakatan pun tidak terjalin harmonis apalagi tercipta suasana dinamis di dalam kelompok-kelompok masyarakat yang ada di daerah irigasi Nagrog.
3.1.5 Permasalahan Sosial di Lokasi
Seperti yang telah dipaparkan di atas, bahwa begitu banyak permasalahan yang ada, di antaranya; individu dengan individu masyarakat lainnya, individu masyarakat dengan kelompok masyarakat, kelompok dengan kelompok masyarakat lainnya bahkan tidak jarang kelompok-kelompok masyarakat dengan pemerintahan setempat. Begitu kompleknya permasalahan yang ada di tengah masyarakat, terkadang jika terjadi kesalahan pendekatan akan berdampak yang kurang baik, salah satunya adalah kita tidak diterima lagi di lingkungan tersebut, dan yang paling parah jika sisi sensitifitas dari masyarakat sekitar irigasi nagrog tersentuh, maka mereka tidak segan-segan untuk melakukan pembalasan yang terlihat sangat tidak rasional.



3.2 Aspek Ekonomi
3.2.1 Luas dan Jenis Usaha Tani
Saluran irigasi Nagrog mengairi 4 (empat Desa, yaitu: Desa Simpang, Desa Mekarmulya, Desa Kubang dan Desa Cilongsong yang berbatasan dengan kecamatan Tanggeung. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dari tabel di bawah ini:
Tabel 2.2: Luas Arela dan Jenis Usaha Tani
No Desa Luas Areal Jenis Usaha Tani
1 Simpang 72 Padi
2 Mekarmulya 349 Padi
3 Kubang 425 Padi dan Palawija
4 Cilongsong 96 Palawija
Total 942 -
Sumber: Hasil survey, responden Mantri Cai dn GP3A

3.2.2 Tingkat Pendapatan Usaha Tani
Petani dengan segala keterbatasannya adalah konsekuensi dari pilihan hidup yang mesti terus dijalani. Hasil yang diperoleh dari jerh payah petani hanya cukup untuk bertahan hidup dan sedikit alokasi biaya untu operasional musim tanam selanjutnya, tetapi tidak jarang juga petani selalu terjerat hutang untuk biaya operasional tanam kepada pihak-pihak yang selalu memanfaatkan kelemahan mereka. Untuk mengetahui tingkat pendapatan usaha tani, dapat dilihat pada lembar lampiran.


3.2.3 Potensi Sumber Daya Lokal dan Peluang Usaha Ekonomi Produktif
Potensi sumber daya yang dimiliki masyarakat sekitar daerah irigasi nagrog sangatlah melimpah. Kondisi tersebut sangat memungkinkan untuk melakukan berbagai pengembangan usaha pertanian. Untuk itu sektor ini sangat menjanjikan jika digunakan sebagai salah satu peluang usaha produktif. Potensi sumber daya lokal dan peluang usaha ekonomi dapat diupayakan dengan system:
 Intensifikasi, melakukan peningkatan hasil pertanian dengan tidak menambah jumlah areal tetapi melakukan pemilihan bibit unggul serta proses pemupukan yang baik dan benar.
 Ekstensifikasi, melakukan produktifitas hasil pertanian dengan menambah jumlah area, hal ini dimunginkan untuk daerah irigasi Nagrog.
 Diversifikasi, melakukan pengembangan usaha pertanian.

3.2.4 Struktur Mata Pencaharian Petani
Untuk masyarakat yang bergantung kepada hasil pertanian sebanyak 60%, pedagang yang memanfaatkan airi irigasi sekitar 20 %, buruh tani 15 % dan sisanya jasa serta buruh pabrik.
Kekuatan Potensi Lokal Daerah Irigasi Nagrog
1. Sumber daya manusia yang ulet dan pekerja keras.
2. Jika dilihat dari data topografi, di sekitar daerah irigasi Nagrog adalah dataran tinggi/pegunungan dan banyak juga terdapat tanah perkebunan rakyat, sumber daya tersebntu berpotensi untuk dijadikan lahan hutan industri. Daerah hulu yang debit airnya besar.
3. Daerah hulu yang ketersediaan airna melimpah didukun sarana kolam ikan yang sudah ada sangat berpotensi menjadi sentra peternakan ikan.
4. Dll

Kelemahan
1. SDM yang tidak terlatih.
2. Pemasaran yang terbatas.
3. Sarana pertanian yang tidak memadai.
4. sulit mengakses dinas yang terkait.
























BAB IV
Profil Teknis

4.1 Data Umum
Daerah Irigasi Nagrog terletak di Kecamatan Pasir Kuda. Lokasi Daerah Irigasi Nagrog berjarak 90 km dari Ibukota Kabupaten Cianjur. Debit air irigasi Nagrog mampu mengairi 942 Ha dan memiliki panjang saluran 9,3 km, serta berada di hulu sungai Cilumut.
Tabel 4.1: Luas Sawah Berdasarkan Jenis Pengairannya
No Jenis Pengairan Luas (Ha)
1 Irigasi Teknis 442
2 Irigasi 1/2 Teknis 555
3 Irigasi Sederhana 3036
4 Irigasi Non Teknis 1244
5 Tadah Hujan 1627
Total 6,904
Sumber: BPS, Cianjur dalam angka Tahun 2008
Dari tabel jenis pengairan di atas, terdapat luasan 71,50 Ha sawah yang terdiri dari irigasi teknis dengan lokasi di Desa Simpang, serta terdapat luasan 870,50 Ha sawah yang terairi oleh irigasi setengah teknis yang berlokasi di Desa Mekarmulya, Kubang, Cilongsong dan Desa Padaluyu.



Tabel 4.2: Luas Sawah Berdasarkan Jenis Pengairannya
Musim Tanam Debit (liter/detik) Keterangan
I >1000 Luber di Saluran Induk, rawan longsor (erosi)
II Antara 500-1000
III <500
Sumber, Hasil Survey, Responden Juru Pengairan
4.2 Irigasi Nagrog
Saluran irigasi Nagrog mengairi 5 Desa, yaitu: Desa Simpang, Desa Mekarmulya, Desa Kubang, Desa Cilongsong dan Desa Padaluyu.
Tabel 4.3: Luas Areal yang Terairi Irigasi Nagrog
No Desa Luas (Ha) Keterangan
1 Simpang 72
2 Mekarmulya 349
3 Kubang 425
4 Cilongsong dan Padaluyu 96
Sumber: Juru Pengairan/mantri cai DI. Nagrog
Tabel 4: Kondisi Bangunan Irigasi
No Jenis Bangunan Jumlah Kondisi
1 Bendung 1 Rusak
2 Bendung Sadap 27 60% Rusak
3 Bangunan Bagi Sadap 2
4 Oncoran 18
5 Bangunan Got Miring 4 3 baik, 1 Rusak
6 Bangunan Talang 6 Baik
7 Bangunan Ukur 3 Rusak
8 Gorong-gorong Pembawa 8 2 Rusak
9 Bangunan Tertutup 12 2 Rusak
10 Pelimpah/Penguras 2 Rusak Berat
Sumber: Hasil Survey Penelusuran Jaringan Tahun 2009
Saluran irigasi terletak pada daerah curam (lamping: bahasa sunda), kondisi alam tersebut sangat rawan. Maka, di samping pemeliharaan, pembangunan dan perbaikan gorong-gorong tertutup, lining dan kirmirpun harus segera dilaksanakan untuk mengantisipasi bencana longsor, tanggul jebol dan pohon tumbang.
1.1 Pelaksanaan Operasi dan Pemeliharaan (OP)
Pelaksanaan Operasional Pemeliharaan jaringan irigasi Nagrog dilaksanakan secara berkala, khususnya untuk kegiatan galian lumpur sebagai akibat sedimentasi, Babadan rumput di sekitar tanggul sungai. Sedangkan untuk penanganan Bencana seperti: longsor, pohon tumbang dan tanggul jebol) tidak berkala.
1.2 Sumber Pembiayaan
Sumber dana pelaksanaan OP lebih banyak di danai oleh pihak pemerintah lewat APBD, tetapi tidak sedikit kontribusi lembaga GP3A dengan alokasi dana dari IPAIR juga dapat membantu kegiatan OP. Faktanya, dana IPAIR yang terkumpul selalu habis untuk digunakan sebagai operasional pemeliharaan, dikarenakan bencana alam yang selalu datang terutama di musim penghujan, banyak titik-titik yang rawan longosr mengalam kerusakan dan penyumbatan saluran sebagai akibat dari longsor dan pohon-pohon yang tumbang. Untuk OP di tingkat tersier masih rendah, bisa dikatakan OP ditingkat tersier tidak pernah dilakukan dikarenakan P3A yang bersangkutan secara kelembagaan pun belum mapan apalagi untuk menyusun rencana dan melaksanakan. Faktanya, unit-unit yang ada masih bergantung penuh kepada lembaga P3A.



BAB V
PROFIL KELEMBAGAAN

5.1 Nama Lembaga
Kelembagaan yang ada di Daerah Irigasi Nagrog di Kecamatan Pasir Kuda, adalah:
1. GP3A Sauyunan (sudah berbadan hukum)
2. P3A Saluyu (belum berbadan hukum) berlokasi di daerah Hulu, tepatnya di Kampung Cinagrog Desa Mekarmulya berdekatan dengan lokasi Sekretariat GP3A.
3. P3A Gotongroyong (belum berbadan hukum) berlokasi di daerah Hilir.
Pada tahun 2008 sebenarnya P3A gotongroyong dan P3A saluyu direkomendasikan untuk berbadan hukum, dikarenakan terjadi salah persepsi dari pihak GP3A dan Pihak KACADIN sehingga proses badan hukum ke-dua P3A tersebut terhambat.

5.2 Pengurus Lembaga GP3A/P3A
GP3A Sauyunan sejak tanggal 29 Juli 2007 telah terjadi pergantian kepengurusan yang dilakukan di Balai Desa Mekarmulya dengan hasil perubahan posisi Sekretaris, Bendahara, Bdan Pengawas dan Humas. Pergantian dilakukan berdasarkan petimbangan keaktifan dan kesibukan para pengurus yang diganti.
SUSUNAN PENGURUS GP3A SAUYUNAN
Ketua : H. Kosim
Wk.Ketua : Handi
Sekretaris : Suryana
Bendahara : Amar
Badan Pengawas : Burhan, Kamal
Seksi Pembangunan : A. Dagwan
Seksi Humas : Ade Robana, Bana
Anggota : 1. H. Rojak
2. Ihin
3. Odo
4. Yayat
5. H. Hilman
6. Yahya
7. Holid
Pemilihan pengurus dan anggota GP3A Sauyunan dipilih dari hasil proses demokrasi. Pengurus yang terpilih tersebut adalah sebagai bukti keterwakilan pengurus/anggota dari lembaga P3A dan Blok yang ada di wiliayah Daerah Irigasi Nagrog.
SUSUNAN PENGURUS P3A SALUYU dan Para Ketua Blok

Ketua : H. Hilman
Wk.Ketua : H. Rojak
Sekretaris : Ade
Bendahara : Suryana
Sek. Pel. Tek : A. Rustandi
Ketua Blok
1. Kp. Cinagrg : H. Hilman
2. Kp. Rancagoong : Yahya
3. Kp. Pasir Luhur : Didin
4. Kp. Sukarame : Suryana
5. Kp. Cinangka : H. Rojak

SUSUNAN PENGURUS P3A GOTONGROYONG HILIR
dan Para Ketua Blok
Ketua : Yayat
Wk. Ketua : Amar
Sekretaris : Janud
Bendahara : Tajid
Sek.Pel.Tek : Amud Rosid
Ketua Blok
1. Kp. Jati : Ikin
2. Kp. Panglayungan : Odo
3. Kp. Pasir Laranga : Amar
4. Kp. Cigambir : Yayat
Pemilihan pengurus dan anggota P3A Sauyunan dipilih dari hasil proses demokrasi. Pengurus yang terpilih tersebut adalah sebagai bukti keterwakilan pengurus/anggota Blok yang ada di wiliayah P3A Gotongroyong Hilir.
STRUKTUR ORGANISASI GP3A









Gambar 5.1: Struktur Organisasi GP3A
5.3 Keanggotaan
Lembaga GP3A/P3A adalah sebuah organisasi petani yang dibentuk berdasarkan dari, oleh dan untuk petani. Hadirnya lembaga tersebut adalah sebuah keniscayaan bagi petani, sebab, petani dan hasil taninya adalah tulang punggung bagi kelangsungan hidup manusia.
Untuk mendukung lembaga tersebut agar tetap tumbuh dan berkembang sesuai dengan perkembangan jaman. Maka, sangat diperlukan sebanyak mungkin anggota petani. Adapun keanggotaan dari lembaga GP3A/P3A adalah sebagai berikut:
1. Unit P3A;
2. Pemilik Sawah;
3. Pemilik Penggarap;
4. Penggarap/penyekap;
5. Pemilik Kolam yang mendapat air irigasi;
6. Badan Usaha yang mengusahakan sawah atau kolam;
7. Pemakai air lainnya.

5.4 Luas Wilayah Kerja
1. P3A Mitra Cai Saluyu : 546 Ha;
2. P3A Mitra Cai Gotongroyong : 396 Ha.
5.5 Jumlah Anggota Berdasarkan Kelompok/Blok
Table 2.1: Jumlah Anggota Berdasarkan Kelompok/Blok
Nama P3A Nama Blok Ketua Jumlah Anggota Keterangan
Saluyu Cinagrog H. Hilman 60
Rancaagoong H. Badru 70
Pasir Luhur Didin 40
Sukarame Suryana 70
Cinangka H. Rozak 60
Gotong Royong Pasir Larangan Ajid 60
Bojongtangkil Ikin 70
Panglayungan Janud 60
Cigambir Yayat 70

5.6 Rencana Kerja
Rencana kerja GP3A/P3A terbagi 5 (lima) kegiatan utama, yaitu:
1. Pengkatan Kelembagaan;
2. Peningkatan Kemampuan Anggota;
3. Pemeliharaan Jaringan;
4. Pengembangan Usaha;
5. Monitoring Evaluasi.

5.7 Pemberdayaan Organisasi P3A/GP3A
Dalam mensukseskan program pemberdayaan organisasi P3A/GP3A, pendamping tidak terlepas pada empat prinsip pemberdayaan, yaitu: prinsip kesetaraan, partisipasi, kemandirian dan keberlanjutan. Dalam prakteknya, pendamping berusaha memulainya dengan apa yang masyarakat miliki, kemampuan pengetahuan yang ada serta tidak secara sporadis memaksakan masyarakat petani untuk mengejar target untuk mencapai kemajuan yang sangat cepat tanpa memperhitungkan kemampuannya.
Program pemberdayaan yang dapat menstimulasi kemandirian masyarakat adalah program yang sifatnya partisipatif, direncanakan, dilaksanakan, diawasi dan dievaluasi oleh masyarakat. Namun, untuk sampai pada tingkat tersebut perlu waktu dan proses pendampingan yang melibatkan pendamping yang berkomitmen tinggi terhadap pemberdayaan masyarakat.
Pemberdayaan organisasi P3A/GP3A memerlukan strategi yang tepat, karena kesalahan dalam menangkap permasalahan, mengakibatkan kesalahan dalam menentukan cara pemecahannya. Apabila ini terjadi, maka program pemberdayaan tidak berjalan efektif, mubazir dan yang lebih buruk adalah terciptanya masyarakat yang selalu bergantung dari bantuan pemerintah.

5.8 Kinerja Organisasi P3A/GP3A
Daerah irigasi Nagrog adalah daerah yang sering tersentuh proyek. Faktanya, kondisi masyarakat sudah tidak lagi mencerminkan kondisi asli sebagaimana saat mereka belum memperoleh fasilitas dan interaksi dengan pihak luar. Masyarakat petani yang sudah terbiasa dengan proyek bantuan, semakin “siap” dalam menerima kunjungan maupun menyediakan jawaban yang tidak mencerminkan kondisi sesungguhnya atas pertanyaan yang ditujukan kepada mereka.Bias proyek juga kerap mengakibatkan dilema antara target proyek yang harus selesai dalam jangka waktu tertentu dengan implementasi strategi pemberdayaan yang memerlukan waktu relatif lama.
Pada akhirnya, kondisi tersebut sangat mempengaruhi kinerja organisasi P3A/GP3A, kewajiban anggota pengurus terhadap iuran semakin rendah dan aktivitas anggota pengurus seolah terbius oleh seringnya proyek yang turun, sehingga keaktifan anggota/pengurus diukur oleh seberapa besar materi yang akan mereka dapatkan. Ironis memang, tetapi seperti itulah faktanya.




BAB VI
ANALSISI DAN REKOMENDASI


6.1 Analisis
Jika dilihat perkembangan organisasi P3A/GP3A dari tahun 2006 sampai dengan 2009, maka akan terlihat perkembangan yang begitu pesat. Kemajuan-kemajuan yang telah dicapai salah satunya adalah petani perkumpulan pemakai air dapat merencanakan, melaksanakan dan mengawasi serta mengevaluasi setiap pelaksanaan kontruksi partisipatif. Kontribusi petani terhadap pemeliharaan dan pembangunan saluran pun sangat baik, itu terlihat ketika setiap para petani melakukan swadaya bergotong-royong dengan jumlah hampir 500 orang petani, dan itu tidak bisa dilihat ditempat-tempat yang lain. Kemungkinan besar itu hanya ada di perkumpulan petani pemakai air Daerah Irigasi Nagrog. Perkumpulan petani pemakai air pun tidak terlepas dari binaan dan arahan Kacadin wilayah VII, pendamping menyaksikan sendiri, begitu harmonis dan sinergis dalam setiap kegiatan, hampir tidak ditemukan permasalahan-permasalahan yang terjadi.
Sudah menjadi konsekuensi logis, apapun bentuknya setiap kegiatan/program akan selalu ditemukan sisi positif dan sisi negatifnya. Pendamping menangkap ada sedikit kecenderungan perubahan ke arah yang negatif, seperti menurunnya IPAIR dikarenakan terlalu seringnya mendapatkan kontruksi partisipatif, kesenjangan sosial bagi kelompok masyarakat yang tidak diikutsertakan dalam kegiatan kontruksi partisipatif, dan semakin mencoloknya kinerja aparatur ketika ada bantuan konstruksi partisipatif, maka kinerja aparatur sangat intens datang ke lapangan dan berkunjung ke rumah petani. Sisi negatif yang lainnya adalah waktu untuk melakukan pemberdayaan menjadi sempit atau nyaris tidak pernah ada dikarenakan terlalu terfokus pada pelaksanaan kegiatan konstruksi partisipatif.

6.2 Rekomendasi
1. Pelaksanaan kontruksi partispatif diharapkan tidak bersamaan waktunya dengan kegiatan pemberdayaan penguatan kelembagan P3A/GP3A;
2. Diharapkan tidak adanya penilaian diskriminatif antara P3A dan GP3A dari pihak manapun;
3. Diharapkan semakin banyak pemberdayaan ekonomi keluarga buruh tani.




















BAB VII
PENUTUP


7.1 Kesimpulan
Seperti yang sudah saya jelaskan, bahwa penyusunan PSETK dimaksudkan untuk menyediakan data sebagai informasi mengenai kondisi sosial, ekonomi teknis dan kelembagaan di suatu daerah irigasi. Tujuannya sangat jelas, yaitu untuk membantu Lembaga Pengelola Irigasi (LPI) dalam merencanakan program pemberdayaan organisasi P3A/GP3A/IP3A menuju peningkatan pengelolaan irigasi partisipatif, sebagai outputnya organisasi P3A/GP3A/IP3A mampu melakukan efektifitas saluran air, penguatan lembaga yang lebih mandiri, peningkatan produktivitas hasil pertanian serta pengembangan usaha pertanian.
Sebagai orang luar, saya sering terjebak dalam “bias”. Kami mengalami bias apabila memiliki prasangka atau asumsi tertentu yang sedemikian kuat sehingga menjadi sebuah “kebenaran” dalam perspektif saya. Beberapa macam bias yang sering saya alami dan saya temukan ketika berada di lapangan, yaitu:
1. Bias Ruang
Karena berbagai alasan seperti jalanan rusak atau berlumpur, kenyamanan tempat tinggal, biaya transportasi, waktu dan sebagainya, banyak kegiatan pemberdayaan memilih lokasi yang mudah dituju;
2. Bias Proyek
Daerah irigasi Nagrog sering tersentuh oleh proyek. Padahal kondisi masyarakat yang telah tersentuh oleh proyek sering tidak mencerminkan kondisi asli sebagaimana saat mereka belum memperoleh fasilitas dan interaksi dengan orang luar. Masyarakat petani yang sudah terbiasa dengan proyek bantuan, semakin siap menerima kunjungan maupun menyediakan jawaban yang tidak mencerminkan kondisisesungguhnya atas pertanyaan yang diajukan kepada mereka. Bias proyek juga kerap mengakibatkan dilema antara target proyek yang harus selesai dalam jangka waktu tertentu dengan implementasi strategi pemberdayaan yang memerlukan waktu relatif lama.
3. Bias Kepentingan
Tak jarang pendamping dihadapkan pada dua kepentingan yang saling berseberangan, yaitu kepentingan instansi (lembaga yang memberi tugas mendampingi atau memfasilitasi) dan kepentingan masyarakat. Jika terjebak dalam situasi demikian, pendamping sering kali lebih memilih mendahulukan kepentingan lembaga dari pada kepentingan masyarakat.
4. Bias Belas Kasihan
Pendamping juga sering terjebak pada rasa belas kasihan kepada petani tak berdaya. Pendamping cenderung memberikan bantuan secara karikatif (charity) seperti yang dikehendaki masyarakat tanpa memperhatikan kesiapan sang penerima bantuan.
5. Bias Kelompok Sasaran
Kemanakah masyarakat petani miskin ketika pendamping, peninjau, peneliti atau lembaga pemberdayaan masyarakat datang berkunjung? Bagi mereka tidak termasuk rombongan penyambut. Mereka menyembunyikan diri atau asyik bekerja memenuhi kebutuhan. Sementara para penyambut rombongan adalah mereka yang biasanya mempunyai kedudukan, mapan dalam status sosial ekonomi, dan bisa berbahasa Indonesia sehingga kepercayaan dirinya besar. Umumnya kelompok seperti ini yang justru menjadi sasaran pemberdayaan, dengan alasan mudah diajak kompromi dan berkomunikasi. Para peninjau pun tak terlepas dari bias kelompok sasaran dalam bentuk lain. Misalnya, mendahulukan kaum laki-laki daripada perempuan, mendahulukan yang sehat daripada yang sakit, mendahulukan para penerima gagasan baru daripada yang emnolak, atau mendahulukan kelompok yang aktif dan hidup.
6. Bias Musim
Pendamping sering memilih waktu musim kemarau untuk mengumpulkan data. Padahal pada musim kemarau, umumnya panen baru selesai dan pesta baru diselenggarakan. Sedangkan pada musim penghujan, musim dimana pendamping enggan datang, justru lebih menggambarkan keadaan tak berdaya masyarakat petani. Ini terlihat dari kondisi banjir, terputusnya jalur komunikasi dan transportasi, bibit tanaman banyak yang mati dan sebagainya.
7. Bias Diplomatis
Pada proses pendampingan, pendamping lebih banyak mengutamakan perasaan nyaman, tidak menyinggung, sopan santun dan malu-malu daripada mengemukakan pendapat yang sebenarnya.
8. Bias Profesi
Pendamping mengukur dan memahami permasalahan berdasar kriteria yang mereka tetapkan sebagai standar keilmuan yang dimiliki dari pada menangkap kenyataan faktual, sekalipun itu berada di luar keilmuannya.

7.2 Saran
Pendamping sangat berharap, semoga penyusunan Profil Sosio Ekonomi Teknis Dan Kelembagan (PSETK) DI Nagrog tahun 2009 ini, dapat memberikan manfaat sekaligus dapat menjadi masukan yang berarti untuk Lembaga Pengelola Irigasi (LPI).
Pendamping sangat berharap kepada semua pihak untuk tetap semangat dan konsisten dalam memberdayakan petani khususnya danmasyarakat pada umumnya, tidak hanya dalam hal kesejahteraannya saja, akan tetapi benar-benar memberdayakan petani dengan menstimulasi semangatnya dalam menumbuhkan kembali kearifan budaya lokal (indigenous wisdom)
Demikianlah data dan informasi yang dapat kami kumpulkan. Pendamping senantiasa berusaha semaksimal mungkin memberikan data dan fakta di lapangan dengan yang sebenar-benarnya.

Selasa, 01 Desember 2009

puisi

ketika kehidupan telah menjadi buih
haruskah kata-kata dijadikan senjata
ataukah diam yang harus dipertontonkan
sedangkan segala tindakan telah dianggap gila

Selasa, 17 November 2009

RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR TAHUN 2008 TENTANG IRIGASI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

GUBERNUR JAWA BARAT,

Menimbang: a. bahwa air sebagai sumber kehidupan masyarakat yang sesuai sifatnya, selalu mengikuti siklus hidrologis yang erat hubungannya dengan kondisi cuaca pada suatu daerah, sehingga menyebabkan ketersediaan air tidak merata dalam setiap waktu dan setiap wilayah;
b. bahwa fungsi irigasi memegang peranan sangat penting dalam meningkatkan produksi tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, kehutanan, peternakan dan perikanan;
c. bahwa Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 2 Tahun 2004 tentang Irigasi sudah tidak sesuai lagi dengan pembaharuan kebijakan, pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi, sehingga perlu ditinjau kembali;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, b dan c tersebut di atas, perlu ditetapkan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat tentang Irigasi;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1950 tentang Pembentukan Provinsi Jawa Barat (Berita Negara tanggal 4 Juli 1950);
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043);
3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3419);
4. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3478);
5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);



6. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 146, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3888) Jo. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4412);
7. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4377);
8. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4389);
9. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4421);
10. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 124, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4436);
11. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4844);
12. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 28, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4724);
13. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1982 tentang Tata Pengaturan Air (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3225);
14. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3848);
15. Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 1999 tentang Perusahaan Umum (Perum) Jasa Tirta II (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 203);
16. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4161);


17. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa (Lembaran Negara Tahun 2005 Nomor 158, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4587);
18. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pembinaan dan Pengawasan atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2005 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4593);
19. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2006 tentang Irigasi (Lembaran Negara Tahun 2006 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4624);
20. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952);
21. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 22 Tahun 2003 tentang Pedoman Pengaturan Wewenang, Tugas dan Tanggungjawab Lembaga Pengelola Irigasi Provinsi dan Kabupaten/Kota;
22. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 298/HMK.02/2003 tentang Pedoman Penyediaan Dana Pengelolaan Irigasi Kabupaten/Kota;
23. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 3 Tahun 2001 tentang Pola Induk Pengelolaan Sumber Daya Air di Provinsi Jawa Barat (Lembaran Daerah Tahun 2001 Nomor 1 Seri C);
24. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 3 Tahun 2005 tentang Pembentukan Peraturan Daerah (Lembaran Daerah Tahun 2005 Nomor 13 Seri E, Tambahan Lembaran Daerah Nomor 15);
25. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 8 Tahun 2005 tentang Sempadan Sumber Air (Lembaran Daerah Tahun 2005 Nomor 16 Seri C, Tambahan Lembaran Daerah Nomor 19);
26. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 2 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung (Lembaran Daerah Tahun 2006 Nomor 1 Seri E, Tambahan Lembaran Daerah Nomor 21);

Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI JAWA BARAT
dan
GUBERNUR JAWA BARAT
MEMUTUSKAN :




Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG IRIGASI.


BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:
1. Daerah adalah Provinsi Jawa Barat.
2. Pemerintah Daerah adalah Gubernur beserta perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
3. Gubernur adalah Gubernur Jawa Barat.
4. Dinas adalah Dinas yang membidangi pengelolaan sumber daya air di Jawa Barat.
5. Pemerintah Kabupaten/Kota adalah Pemerintah Kabupaten/Kota di Jawa Barat.
6. Bupati/Walikota adalah Bupati/Walikota di Jawa Barat.
7. Air adalah semua air yang terdapat pada, di atas ataupun di bawah permukaan tanah, termasuk dalam pengertian ini, air permukaan, air tanah dan air hujan.
8. Sumber Air adalah tempat atau wadah air alami dan/atau buatan yang terdapat pada, di atas ataupun di bawah permukaan tanah.
9. Irigasi adalah usaha penyediaan, pengaturan dan pembuangan air irigasi untuk menunjang pertanian yang jenisnya meliputi irigasi air permukaan, irigasi rawa, irigasi air bawah tanah, irigasi pompa dan irigasi kolam/tambak.
10. Sistem Irigasi adalah satu kesatuan sistem yang meliputi prasarana irigasi, air irigasi, manajemen irigasi, kelembagaan pengelolaan irigasi dan sumberdaya manusia.
11. Daerah Irigasi adalah kesatuan lahan yang mendapat air dari satu jaringan irigasi.
12. Daerah Irigasi Lintas Kabupaten/Kota adalah daerah irigasi yang mendapatkan air irigasi dari jaringan yang bangunan dan/atau saluran serta luasannya berada di lebih dari satu wilayah Kabupaten/Kota.
13. Penyediaan Air Irigasi adalah penentuan volume air per satuan waktu yang dialokasikan dari suatu sumber air untuk daerah irigasi yang didasarkan waktu, jumlah dan mutu, sesuai dengan kebutuhan untuk menunjang pertanian dan keperluan lainnya.
14. Pengaturan Air Irigasi adalah kegiatan yang meliputi pembagian, pemberian dan penggunaan air irigasi.
15. Pembagian Air Irigasi adalah kegiatan membagi air di bangunan bagi dan/atau sadap dalam jaringan primer dan/atau jaringan sekunder sesuai kebutuhan.
16. Penggunaan Air Irigasi adalah kegiatan memanfaatkan air dari petak tersier untuk mengairi lahan pertanian pada saat diperlukan.
17. Pemberian Air Irigasi adalah kegiatan menyalurkan air dengan jumlah tertentu dari jaringan primer atau jaringan sekunder ke petak tersier dan keperluan lainnya.
18. Pembuangan Air Irigasi yang selanjutnya disebut drainase adalah pengaliran kelebihan air yang sudah tidak dipergunakan lagi pada suatu daerah irigasi tertentu.
19. Jaringan Irigasi adalah saluran, bangunan, bangunan pelengkap dan daerah sempadan irigasi yang merupakan satu kesatuan dan diperlukan untuk penyediaan, pembagian, pemberian, penggunaan dan pembuangan air irigasi.
20. Jaringan Primer adalah bagian dari jaringan irigasi yang terdiri dari bangunan utama, saluran induk atau primer, saluran pembuangnya, bangunan bagi, bangunan bagi sadap, bangunan sadap dan bangunan pelengkapnya.
21. Jaringan Sekunder adalah bagian dari jaringan irigasi yang terdiri dari bangunan utama, saluran sekunder, saluran pembuangnya, bangunan bagi, bangunan bagi sadap, bangunan sadap dan bangunan pelengkapnya.
22. Jaringan Tersier adalah jaringan irigasi yang berfungsi sebagai prasarana pelayanan air irigasi dalam petak tersier yang terdiri dari saluran tersier, saluran kuarter dan saluran pembuang, boks tersier, boks kuarter, serta bangunan pelengkapnya.
23. Pertanian adalah budidaya pertanian yang meliputi tanaman pangan, hortikultura, perikanan, peternakan, perkebunan dan kehutanan.
24. Petani adalah petani tanaman pangan, hortikultura, perikanan, peternakan, perkebunan dan kehutanan.
25. Perkumpulan Petani Pemakai Air Mitra Cai yang selanjutnya disebut P3A Mitra Cai adalah kelembagaan pengelola irigasi berbadan hukum yang menjadi wadah petani pemakai air dalam suatu daerah layanan atau petak tersier atau desa, yang dibentuk secara demokratis oleh dan untuk masyarakat petani.
26. Gabungan Petani Pemakai Air Mitra Cai yang selanjutnya disebut GP3A Mitra Cai adalah kelembagaan pengelola irigasi berbadan hukum yang menjadi wadah petani pemakai air dalam suatu daerah layanan jaringan irigasi sekunder yang dibentuk secara demokratis oleh dan untuk masyarakat petani.
27. Induk Petani Pemakai Air Mitra Cai yang selanjutnya disebut IP3A Mitra Cai adalah kelembagaan pengelola irigasi berbadan hukum yang menjadi wadah petani pemakai air dalam suatu daerah layanan jaringan irigasi primer atau satu daerah irigasi yang dibentuk secara demokratis oleh dan untuk masyarakat petani.
28. Masyarakat Petani adalah kelompok masyarakat yang bergerak dalam bidang pertanian, baik yang telah tergabung dalam organisasi P3A/GP3A/IP3A Mitra Cai maupun petani lainnya yang belum tergabung dan/atau tidak tergabung dalam organisasi P3A/GP3A/IP3A Mitra Cai.
29. Komisi Irigasi Provinsi adalah lembaga koordinasi dan komunikasi antara wakil Pemerintah Daerah, wakil P3A Mitra Cai tingkat daerah irigasi, wakil pengguna jaringan irigasi di Daerah dan wakil Komisi Irigasi Kabupaten/Kota yang di wilayahnya terdapat jaringan irigasi yang menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah.
30. Komisi Irigasi Kabupaten/Kota adalah lembaga koordinasi dan komunikasi antara wakil Pemerintah Kabupaten/Kota, wakil P3A Mitra Cai tingkat daerah irigasi dan wakil pengguna jaringan irigasi di Kabupaten/Kota.
31. Forum Koordinasi Daerah Irigasi adalah sarana konsultasi dan komunikasi antara wakil P3A/GP3A/IP3A Mitra Cai, wakil pengguna jaringan, dan wakil Pemerintah Daerah dalam rangka pengelolaan irigasi yang jaringannya berfungsi multiguna pada suatu daerah irigasi.
32. Aset Irigasi adalah jaringan irigasi dan pendukung pengelolaannya.
33. Pengelolaan Aset Irigasi adalah proses manajemen yang terstruktur untuk perencanaan pemeliharaan dan pendanaan sistem irigasi, guna mencapai tingkat pelayanan yang ditetapkan dan berkelanjutan bagi pemakai air irigasi dan pengguna jaringan irigasi, dengan pembiayaan pengelolaan aset irigasi seefisien mungkin.
34. Pengembangan Jaringan Irigasi adalah kegiatan pembangunan jaringan irigasi baru dan/atau peningkatan jaringan irigasi yang sudah ada.
35. Pembangunan Jaringan Irigasi adalah seluruh kegiatan penyediaan jaringan irigasi di wilayah tertentu yang belum ada jaringannya.
36. Peningkatan Jaringan Irigasi adalah kegiatan meningkatkan fungsi dan kondisi jaringan irigasi yang sudah ada atau menambah luas areal pelayanan pada jaringan irigasi yang sudah ada, dengan mempertimbangkan perubahan kondisi lingkungan daerah irigasi.
37. Pengelolaan Jaringan Irigasi adalah kegiatan yang meliputi operasi, pemeliharaan dan rehabilitasi jaringan irigasi di daerah irigasi.



38. Operasi Jaringan Irigasi adalah upaya pengaturan air irigasi dan pembuangannya, termasuk kegiatan membuka-menutup pintu bangunan irigasi, menyusun rencana tata tanam, menyusun sistem golongan, menyusun rencana pembagian air, melaksanakan kalibrasi pintu/bangunan, mengumpulkan data, memantau, dan mengevaluasi.
39. Pemeliharaan Jaringan Irigasi adalah upaya menjaga dan mengamankan jaringan irigasi agar selalu berfungsi dengan baik, guna memperlancar pelaksanaan operasi dan mempertahankan kelestariannya.
40. Rehabilitasi Jaringan Irigasi adalah kegiatan perbaikan jaringan irigasi guna mengembalikan fungsi dan pelayanan irigasi seperti semula.

BAB II
ASAS, MAKSUD, TUJUAN DAN FUNGSI
Bagian Kesatu
Asas
Pasal 2
Irigasi dikelola berdasarkan asas partisipatif, berwawasan lingkungan, kelestarian, keseimbangan, kemanfaatan umum, keterpaduan dan keserasian, keadilan, kemandirian, transparansi dan akuntabilitas.

Bagian Kedua
Maksud dan Tujuan
Pasal 3
Irigasi dikelola untuk mengatur pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi di Daerah secara efisien dan efektif, terarah dan berkelanjutan, serta mengutamakan kepentingan petani.

Bagian Ketiga
Fungsi
Pasal 4
(1) Irigasi berfungsi mendukung produktivitas usaha tani guna meningkatkan produksi pertanian dalam rangka ketahanan pangan serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya petani.
(2) Pengaturan irigasi dalam Peraturan Daerah ini berfungsi sebagai pedoman bagi penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota mengenai irigasi.


BAB III
PENGEMBANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM IRIGASI
Bagian Kesatu
Prinsip
Pasal 5
(1) Pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi dilaksanakan secara partisipatif dengan mendorong peran serta petani baik secara perorangan atau melalui P3A Mitra Cai, sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya.
(2) Pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi yang dilaksanakan oleh badan usaha, badan sosial, atau perseorangan diselenggarakan dengan memperhatikan kepentingan masyarakat di sekitarnya, untuk kebutuhan pokok sehari-hari.
(3) Pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi dilaksanakan dengan :
a. mengutamakan pendayagunaan air permukaan;
b. satu sistem irigasi satu kesatuan manajemen pengembangan dan pengelolaan.
(4) Pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi dilaksanakan untuk menjamin keberlanjutan dengan berdasarkan:
a. Keandalan air irigasi, yang diwujudkan melalui kegiatan pembangunan yang memperhatikan aspek-aspek konservasi dan pelestarian guna menjamin keseimbangan keandalan air, berupa pemanfaatan dan pengembangan situ, pembangunan waduk, waduk lapangan, bendung, pompa dan jaringan drainase yang memadai, pengendalian mutu air, serta pemanfaatan kembali air drainase;
b. Keandalan prasarana irigasi, yang diwujudkan melalui kegiatan peningkatan dan pengelolaan jaringan irigasi yang meliputi operasi, pemeliharaan dan rehabilitasi jaringan irigasi.
(5) Pedoman pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi partisipatif ditetapkan oleh Gubernur.
Bagian Kedua
Kelembagaan Pengelolaan Irigasi
Pasal 6
Untuk mewujudkan pengembangan dan pengelolaan jaringan irigasi dengan mengupayakan keterpaduan dan keserasian hubungan, dibentuk kelembagaan pengelolaan irigasi, meliputi instansi pemerintah yang membidangi irigasi, perkumpulan petani pemakai air dan komisi irigasi pada semua tingkatan, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 7
Untuk meningkatkan koordinasi dan komunikasi dalam merumuskan kebijakan pengelolaan irigasi, Gubernur membentuk :
a. Komisi Irigasi Provinsi;
b. Komisi Irigasi antar Provinsi, untuk daerah irigasi lintas Provinsi, bekerjasama dengan Pemerintah Daerah Provinsi yang berbatasan;
c. Forum Koordinasi Daerah Irigasi, untuk daerah irigasi multiguna pada satu daerah irigasi.

Bagian Ketiga
Tanggungjawab
Pasal 8
Pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi yang menjadi tanggungjawab Pemerintah Daerah meliputi :
a. Penetapan kebijakan dalam pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi di Daerah;
b. Pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi primer dan sekunder pada daerah irigasi lintas Kabupaten/Kota dengan luas sampai dengan 3.000 Ha dan daerah irigasi yang luasnya 1.000 Ha sampai dengan 3.000 Ha yang berada di wilayah satu Kabupaten/Kota, secara efektif, efisien dan tertib;
c. Pemberian rekomendasi teknis kepada Pemerintah Kabupaten/Kota dalam penggunaan dan pengusahaan air tanah untuk irigasi yang diambil dari cekungan air tanah lintas Kabupaten/Kota;
d. Fasilitasi penyelesaian sengketa antar Kabupaten/Kota dalam pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi;
e. Pemberian bantuan teknis dalam pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi kepada Pemerintah Kabupaten/Kota;
f. Pemberian bantuan kepada petani dalam pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi yang menjadi tanggung jawab petani atas permintaannya berdasarkan prinsip kemandirian;
g. Pemberian izin pembangunan, pemanfaatan, perubahan, dan/atau pembongkaran bangunan dan/atau saluran irigasi pada jaringan irigasi primer dan sekunder dalam daerah irigasi lintas Kabupaten/Kota.
Pasal 9
(1) Pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi primer dan sekunder pada daerah irigasi dalam satu Kabupaten/Kota dengan luas sampai dengan 1.000 Ha, menjadi kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota.
(2) Peningkatan dan pengelolaan sistem irigasi yang dibangun oleh Pemerintah Desa, menjadi kewenangan Pemerintah Desa.
Pasal 10
Pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi tersier menjadi tanggung jawab petani, P3A Mitra Cai, GP3A Mitra Cai dan IP3A Mitra Cai.

Bagian Keempat
Kerjasama
Pasal 11

Pemerintah Daerah dapat bekerjasama dengan Pemerintah, Pemerintah Kabupaten/Kota, Pemerintah Desa dan/atau perkumpulan petani pemakai air dalam pengembangan dan pengelolaan jaringan irigasi, berdasarkan kesepakatan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Kelima
Tugas Pembantuan
Pasal 12
Pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi, dapat ditugaspembantuankan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota atau Desa, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB IV
PEMBERDAYAAN P3A
Pasal 13
(1) Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya memberikan bantuan teknis kepada Pemerintah Kabupaten/Kota dalam rangka pemberdayaan perkumpulan petani pemakai air, meliputi:
a. Penyuluhan dan penyebarluasan teknologi bidang irigasi hasil penelitian dan pengembangan kepada petani;
b. Mendorong petani untuk menerapkan teknologi tepat guna yang sesuai dengan kebutuhan, sumber daya, dan kearifan lokal;
c. Fasilitasi dan meningkatkan pelaksanaan penelitian dan pengembangan teknologi di bidang irigasi; dan
d. Fasilitasi perlindungan hak penemu dan temuan teknologi dalam bidang irigasi, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Dalam hal terjadi hambatan kelembagaan P3A Mitra Cai yang menyebabkan tidak berfungsinya perkumpulan P3A Mitra Cai sebagai pengelola irigasi, Pemerintah Daerah berkoordinasi dengan Pemerintah Kabupaten/Kota, dapat memfasilitasi penyelesaian permasalahan.

BAB VI
PENGELOLAAN AIR IRIGASI
Bagian Kesatu
Pengakuan atas Hak Ulayat
Pasal 14
Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya dalam pengelolaan sumber daya air, mengakui hak ulayat masyarakat hukum adat setempat dan hak sejenis yang berkaitan dengan penggunaan air dan sumber air untuk irigasi, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan umum dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Kedua
Hak Guna Air untuk Irigasi, Hak Guna Pakai Air
dan Hak Guna Usaha Air
Paragraf 1
Umum
Pasal 15
Hak guna air untuk irigasi berupa hak guna pakai air untuk irigasi dan hak guna usaha air untuk irigasi.

Paragraf 2
Hak Guna Pakai Air
Pasal 16
(1) Hak guna pakai air untuk irigasi diberikan untuk pertanian rakyat.
(2) Hak guna pakai air memerlukan izin dalam hal :
a. Cara menggunakannya dilakukan dengan mengubah kondisi alami sumber air dan/atau jaringan irigasi yang ada;
b. Ditujukan untuk keperluan kelompok yang memerlukan air dalam jumlah besar atau melebihi kebutuhan air yang ditetapkan oleh Komisi Irigasi yang bersangkutan;
c. Digunakan untuk pertanian rakyat di luar jaringan irigasi yang sudah ada.
(3) Hak guna pakai air untuk irigasi diterbitkan oleh Gubernur atau Bupati/Walikota sesuai kewenangannya masing-masing, berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Paragraf 3
Hak Guna Usaha Air
Pasal 17
(1) Hak guna usaha air untuk irigasi diberikan bagi keperluan pengusahaan di bidang pertanian.
(2) Hak guna usaha air untuk irigasi bagi keperluan pengusahaan di bidang pertanian dapat diperoleh dengan mengajukan permohonan izin prinsip alokasi air kepada Gubernur atau Bupati/Walikota, sesuai dengan kewenangannya masing-masing.
(3) Pengembang yang akan melaksanakan pembangunan sistem irigasi baru, atau peningkatan sistem irigasi yang sudah ada, harus mengajukan permohonan izin prinsip alokasi air kepada Gubernur atau Bupati/Walikota, sesuai dengan kewenangannya masing-masing.
(4) Hak guna usaha air untuk irigasi diberikan kepada badan usaha, badan sosial atau perseorangan berdasarkan izin yang dikeluarkan oleh Gubernur atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya masing-masing, berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Hak guna usaha air untuk irigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan untuk daerah pelayanan tertentu paling lama 10 (sepuluh) tahun dan dapat diperpanjang.

Bagian Ketiga
Penyediaan Air Irigasi dan Rencana Tata Tanam
Pasal 18
(1) Penyediaan air irigasi bagi pertanian rakyat dalam sistem irigasi yang sudah ada merupakan prioritas utama dalam penyediaan air, untuk memberikan perlindungan dan jaminan hak guna pakai air untuk irigasi bagi P3A Mitra Cai, dan direncanakan berdasarkan pada prakiraan ketersediaan air pada sumbernya dan digunakan sebagai dasar penyusunan rencana tata tanam.
(2) Penyediaan air irigasi ditujukan untuk mendukung produktivitas lahan dalam rangka meningkatkan produksi pertanian yang optimal dengan tetap memperhatikan keperluan lainnya.
(3) Penyediaan air irigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan sampai batas tertentu untuk pemenuhan kebutuhan lainnya.
(4) Penyediaan air irigasi dilakukan berdasarkan rencana tata tanam yang disusun oleh Dinas dan Dinas terkait bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten/Kota dengan mempertimbangkan usulan P3A Mitra Cai.
(5) Dalam hal pelaksanaan tanam menyimpang dari rencana tata tanam yang telah ditetapkan, petani yang bersangkutan tidak berhak mendapatkan air irigasi.
Pasal 19
(1) Dalam penyediaan air irigasi, Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya mengupayakan:
a. Optimalisasi pemanfaatan air irigasi pada daerah irigasi atau antar daerah irigasi;
b. Keandalan ketersediaan air irigasi serta pengendalian dan perbaikan mutu air irigasi dalam rangka penyediaan air irigasi.
(2) Dalam hal terjadi kekeringan pada sumber air dan/atau kondisi tertentu yang mengakibatkan diperlukannya substitusi atau suplesi air irigasi, Pemerintah Daerah bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten/Kota mengupayakan tambahan pasokan air irigasi dari sumber air lainnya atau melakukan penyelesaian pengaturan air irigasi, setelah mempertimbangkan masukan dari Komisi Irigasi.
(3) Dalam hal penyediaan tambahan air sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak terpenuhi, Gubernur atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya meninjau dan menetapkan kembali rencana penyediaan air irigasi sesuai dengan asas keadilan dan keseimbangan serta mengupayakan agar tanaman tidak terjadi puso.
Bagian Kelima
Drainase
Pasal 20
(1) Setiap pembangunan jaringan irigasi dilengkapi dengan jaringan drainase, yang merupakan satu kesatuan dengan jaringan irigasi yang bersangkutan.
(2) Pemerintah Daerah bersama-sama dengan Pemerintah Kabupaten/Kota, P3A Mitra Cai dan masyarakat menjaga dan/atau meningkatkan kelangsungan fungsi drainase.
(3) Masyarakat dapat memfungsikan kembali air drainase untuk keperluan pertanian dengan mendapat izin dari Dinas atau Pemerintah Kabupaten/Kota sesuai kewenangannya berdasarkan usulan P3A Mitra Cai, sepanjang tidak mengganggu fungsi drainase.
(4) Air drainase sedapat mungkin diupayakan untuk dipergunakan kembali sesuai dengan kaidah konservasi.

Bagian Keenam
Penggunaan Air untuk Irigasi Langsung dari Sumber Air
Pasal 21
(1) Setiap pemakai air yang menggunakan air untuk irigasi di luar daerah irigasi yang telah ditetapkan dengan cara mengambil langsung dari sumber air permukaan, harus mendapat izin dari Gubernur, kecuali untuk kebutuhan pokok sehari-hari dan pertanian rakyat dan/atau irigasi desa.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan air untuk irigasi dengan cara mengambil langsung dari sumber air permukaan, ditetapkan oleh Gubernur.
(3) Penggunaan air untuk seluruh daerah irigasi dilaksanakan dengan mengutamakan pendayagunaan sumber-sumber air permukaan dan pembatasan penggunaan air tanah yang berasal dari cekungan air tanah, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB VI
PENGEMBANGAN DAN PENGELOLAAN JARINGAN IRIGASI
Bagian Kesatu
Pengembangan
Paragraf 1
Pembangunan Jaringan Irigasi
Pasal 22
(1) Pembangunan jaringan irigasi dilaksanakan berdasarkan Rencana Induk Pengelolaan Sumberdaya Air di Wilayah Sungai dengan memperhatikan rencana pembangunan pertanian.
(2) Pembangunan jaringan irigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapat izin dan persetujuan desain dari Pemerintah Daerah dan Pemerintah Kabupaten/Kota sesuai kewenangannya masing-masing.
(3) Pembangunan jaringan irigasi primer dan sekunder merupakan tanggungjawab Pemerintah Daerah dan/atau Pemerintah Kabupaten/Kota sesuai dengan kewenangannya masing-masing, dan dapat dilakukan oleh P3A Mitra Cai berdasarkan izin dari Pemerintah Daerah atau Pemerintah Kabupaten/Kota.
(4) Pembangunan jaringan irigasi desa merupakan tanggung jawab Pemerintah Desa.
(5) Pembangunan jaringan irigasi tersier menjadi hak dan tanggung jawab P3A Mitra Cai yang bersangkutan.

Paragraf 2
Peningkatan Jaringan Irigasi
Pasal 23
(1) Peningkatan jaringan irigasi dilaksanakan berdasarkan Rencana Induk Pengelolaan Sumberdaya Air di Wilayah Sungai dengan memperhatikan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota serta rencana pembangunan pertanian.
(2) Peningkatan jaringan irigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapat izin dan persetujuan desain dari Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya.
(3) Pemerintah Daerah dan/atau Pemerintah Kabupaten/Kota bertanggung jawab terhadap peningkatan jaringan irigasi primer dan sekunder, sesuai dengan kewenangannya masing-masing.
(4) Peningkatan jaringan irigasi primer dan sekunder dapat dilakukan oleh P3A Mitra Cai berdasarkan izin dari Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya.
(5) Peningkatan jaringan irigasi desa merupakan kewenangan Pemerintah Desa.
(6) Peningkatan jaringan irigasi tersier menjadi hak dan tanggung jawab P3A Mitra Cai yang bersangkutan.

Pasal 24
(1) Perubahan dan/atau pembongkaran jaringan irigasi primer dan sekunder yang mengakibatkan perubahan bentuk dan/atau fungsi jaringan irigasi primer dan sekunder dalam rangka peningkatan jaringan irigasi, harus mendapat izin dari Gubernur sesuai kewenangannya.
(2) Perubahan dan/atau pembongkaran jaringan irigasi tersier yang mengakibatkan perubahan bentuk dan/atau fungsi jaringan irigasi tersier dalam rangka peningkatan jaringan irigasi, harus mendapat persetujuan dari P3A Mitra Cai yang bersangkutan.
(3) Perubahan dan/atau pembongkaran sumur pompa dan bangunan fasilitas irigasi air tanah, harus mendapatkan izin dari Gubernur sesuai kewenangannya.

Bagian Kedua
Pengelolaan
Paragraf 1
Operasi dan Pemeliharaan Jaringan Irigasi
Pasal 25
(1) Operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi primer dan sekunder menjadi wewenang dan tanggung jawab Pemerintah Daerah dan/atau Pemerintah Kabupaten/Kota, sesuai kewenangannya masing-masing.
(2) P3A Mitra Cai dapat berperan serta dalam operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi primer dan sekunder serta melakukan pengawasan.
(3) Operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi tersier menjadi hak dan tanggung jawab P3A Mitra Cai.

Pasal 26
(1) Untuk keperluan pemeriksaan dan pemeliharaan jaringan irigasi, Dinas sesuai kewenangannya menetapkan waktu pengeringan dan bagian jaringan irigasi yang harus dikeringkan, setelah berkoordinasi dengan Pemerintah Kabupaten/Kota dan P3A Mitra Cai.
(2) Dalam rangka pengamanan jaringan irigasi beserta bangunan-bangunannya, ditetapkan garis sempadan pada jaringan irigasi untuk pendirian bangunan dan pembuatan pagar.
(3) Untuk mencegah hilangnya air irigasi dan rusaknya jaringan irigasi, Dinas menetapkan larangan membuat galian pada jarak tertentu di luar garis sempadan.

Paragraf 2
Rehabilitasi Jaringan Irigasi
Pasal 27
(1) Rehabilitasi jaringan irigasi dilaksanakan berdasarkan urutan prioritas kebutuhan perbaikan irigasi yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah setelah memperhatikan pertimbangan Komisi Irigasi, dan harus mendapat izin dan persetujuan desain dari Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya.
(2) Pemerintah Daerah dan/atau Pemerintah Kabupaten/Kota sesuai kewenangannya masing-masing, bertanggung jawab terhadap rehabilitasi jaringan irigasi primer dan sekunder yang dilaksanakan secara partisipatif.
(3) Rehabilitasi jaringan irigasi desa merupakan kewenangan Pemerintah Desa.
(4) Rehabilitasi jaringan irigasi tersier menjadi hak dan tanggungjawab P3A Mitra Cai.
(5) P3A Mitra Cai bertanggung jawab dalam rehabilitasi jaringan irigasi yang dibangunnya.
(6) Rehabilitasi jaringan irigasi yang mengakibatkan perubahan dan/atau pembongkaran jaringan irigasi primer dan sekunder, harus mendapat izin dari Gubernur.
(7) Rehabilitasi jaringan irigasi yang mengakibatkan perubahan dan/atau pembongkaran jaringan irigasi tersier, harus mendapat persetujuan dari P3A Mitra Cai yang bersangkutan.
Pasal 28
(1) Waktu pengeringan yang diperlukan untuk kegiatan rehabilitasi dan peningkatan jaringan irigasi, harus dijadualkan dalam rencana tata tanam.
(2) Waktu pengeringan yang diperlukan untuk kegiatan rehabilitasi yang telah direncanakan, rehabilitasi akibat keadaan darurat atau peningkatan jaringan irigasi, dilakukan paling lama 6 (enam) bulan.
BAB VII
PENGELOLAAN ASET
Pasal 29
(1) Pengelolaan aset irigasi meliputi inventarisasi, perencanaan, pengelolaan dan evaluasi pengelolaan aset irigasi serta pemutakhiran hasil inventarisasi aset irigasi, yang tata caranya ditetapkan oleh Gubernur.
(2) Inventarisasi aset irigasi meliputi inventarisasi jaringan irigasi, fasilitas pendukung pengelolaan irigasi, lembaga pengelola irigasi dan sumberdaya manusia.
(3) Pemerintah Daerah, Pemerintah Kabupaten/Kota dan P3A Mitra Cai sesuai kewenangan masing-masing, melaksanakan inventarisasi aset irigasi.
(4) Pemutakhiran hasil inventarisasi aset irigasi dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya.
(5) Pemerintah Daerah dan P3A Mitra Cai melaksanakan pengelolaan aset irigasi serta melakukan monitoring dan evaluasi sesuai kewenangannya.

BAB VIII
PEMBIAYAAN
Pasal 30
(1) Pembiayaan pengembangan dan pengelolaan jaringan irigasi menjadi tanggungjawab Pemerintah Daerah, Pemerintah Kabupaten/Kota, Pemerintah Desa dan P3A Mitra Cai, sesuai kewenangannya.
(2) Pemerintah Daerah dan Pemerintah Kabupaten/Kota dapat membantu Pemerintah Desa dan/atau P3A Mitra Cai dalam pembiayaan pengembangan dan pengelolaan jaringan irigasi.
(3) Dalam hal terdapat kepentingan mendesak Pemerintah Daerah dapat mengalokasikan pembiayaan pengelolaan untuk jaringan irigasi pada daerah irigasi tertentu.
(4) Pembiayaan operasional Komisi Irigasi Provinsi dan Forum Koordinasi Daerah Irigasi Provinsi menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah.
(5) Pengguna jaringan irigasi turut serta dalam pembiayaan pengelolaan jaringan irigasi yang dibangun oleh Pemerintah Daerah.

BAB IX
KEBERLANJUTAN IRIGASI
Pasal 31
(1) Untuk menjamin kelestarian fungsi dan manfaat jaringan irigasi, Gubernur mengendalikan alih fungsi lahan beririgasi di Daerah.
(2) Pemerintah Daerah dan Pemerintah Kabupaten/Kota sesuai kewenangannya masing-masing, secara terpadu menetapkan wilayah potensial irigasi dalam rangka mendukung perwilayahan komoditi pertanian, yang dijadikan dasar dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah.

Pasal 32
(1) Pengelolaan kualitas air irigasi dilakukan dengan cara memperbaiki kualitas air pada sumber air dan jaringan irigasi, melalui:
a. penetapan kelas air dan baku mutu air pada jaringan irigasi;
b. pemantauan kualitas air pada jaringan irigasi;
c. pengendalian dan penanggulangan pencemaran air pada jaringan irigasi;
d. perbaikan fungsi lingkungan untuk mengendalikan kualitas air irigasi.
(2) Pembuangan air limbah ke jaringan pembuang atau jaringan irigasi dilakukan dengan izin dari pejabat yang berwenang, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB X
LARANGAN
Pasal 33
(1) Setiap orang dilarang :
a. Menyadap air dari saluran pembawa, selain pada tempat yang telah ditentukan;
b. Menggembalakan dan menambatkan ternak besar pada atau di atas jaringan irigasi;
c. Membuang benda padat dengan atau tanpa alat mekanis yang dapat berakibat menghambat aliran, mengubah sifat air serta merusak bangunan jaringan irigasi, beserta tanah turutannya;
d. Membuat galian atau membuat selokan panjang, saluran dan bangunan-bangunannya di daerah sempadan jaringan irigasi, yang dapat mengakibatkan terjadinya kebocoran dan mengganggu stabilitas saluran serta bangunannya;
e. Merusak dan/atau mencabut tanaman pelindung yang ditanam pada tanggul saluran dan pada tanah turutan bangunan-bangunannya;
f. Menanam jenis tanaman tertentu pada tanggul dan/atau tanah turutan bangunan yang dapat merusak tanggul;
g. Menghalangi atau merintangi kelancaran jalannya air irigasi dengan cara apapun;
h. Mendirikan bangunan di dalam daerah sempadan saluran kecuali bangunan yang mendukung peningkatan irigasi;
i. Melakukan kegiatan yang dapat mengganggu fungsi drainase;
j. Merusak bangunan, pintu air dan/atau saluran irigasi yang telah dibangun;
k. Menambah dan/atau merubah fungsi pada bangunan fasilitas sumur pompa;
l. Menyewakan atau memindahtangankan sebagian atau seluruh hak guna air sebagaimana dimaksud pada Pasal 15, 16 dan 17.
(2) Untuk meningkatkan dan/atau mempertahankan fungsi irigasi, Dinas dapat mengadakan perubahan dan/atau pembongkaran bangunan-bangunan dalam jaringan irigasi maupun bangunan pelengkapnya, mendirikan, mengubah atau membongkar bangunan-bangunan lain yang berada di dalam, di atas maupun melintasi saluran irigasi.

BAB XI
PENYIDIKAN
Pasal 34
(1) Selain Pejabat Penyidik POLRI yang bertugas menyidik tindak pidana, penyidikan atas tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Daerah ini dapat dilakukan oleh Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS).
(2) Dalam melaksanakan tugas penyidikan, para penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:
a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana;
b. melakukan tindakan pertama pada saat itu di tempat kejadian dan melakukan pemeriksaan;
c. menyuruh berhenti seseorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
d. melakukan penyitaan benda dan/atau surat;
e. mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
f. memanggil seseorang untuk dijadikan tersangka atau saksi;
g. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
h. menghentikan penyidikan setelah mendapat petunjuk dari Penyidik Umum bahwa tidak terdapat cukup bukti, atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana, dan selanjutnya melalui Penyidik Umum memberitahukan hal tersebut kepada Penuntut Umum, tersangka dan keluarganya;
i. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.
(3) Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dalam melaksanakan tugasnya sebagai penyidik, berada di bawah koordinasi penyidik POLRI.
BAB XII
SANKSI ADMINISTRASI
Pasal 35
(1) Terhadap perbuatan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 33 huruf l, dikenakan sanksi administrasi berupa pencabutan izin.
(2) Selain sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 33 huruf l dikenakan sanksi penegakan hukum berupa pembongkaran bangunan.

BAB XIII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 36
(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 33, diancam pidana kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelanggaran.
(3) Selain tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tindak pidana terhadap perusakan jaringan irigasi yang mengakibatkan kerusakan fungsi irigasi, dikenakan ancaman pidana sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Dalam hal tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana yang lebih tinggi dari ancaman pidana dalam Peraturan Daerah ini, maka diberlakukan ancaman pidana yang lebih tinggi.
(5) Denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penerimaan Daerah dan disetorkan ke Kas Daerah Provinsi Jawa Barat.







BAB XIV
PEMBINAAN, PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN
Pasal 37
Untuk mengupayakan tercapainya tujuan pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi, Pemerintah Daerah melakukan pembinaan, pengawasan dan pengendalian terhadap seluruh proses pelaksanaan pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi pada setiap daerah irigasi.
Pasal 38
(1) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada Pasal 37 meliputi kegiatan:
a. pemantauan dan evaluasi agar sesuai dengan norma, standar, pedoman dan manual;
b. pelaporan;
c. pemberian rekomendasi; dan
d. penertiban.
(2) Pemerintah Daerah melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan melibatkan peran masyarakat, melalui penyampaian laporan dan/atau pengaduan kepada pihak yang berwenang.
(3) Dalam rangka pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah Daerah menyediakan informasi pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi secara terbuka untuk umum.
(4) Pemerintah Daerah di dalam pengendalian pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi, harus mendukung keberlanjutan sistem irigasi.

BAB XV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 39
Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 2 Tahun 2004 tentang Irigasi (Lembaran Daerah Tahun 2004 Nomor 1 Seri C, Tambahan Lembaran Daerah Nomor 7), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 40
Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Peraturan Daerah ini, sepanjang mengenai teknis pelaksanaannya ditetapkan lebih lanjut oleh Gubernur.
Pasal 41
Selambat-lambatnya 1 (satu) tahun terhitung sejak berlakunya Peraturan Daerah ini, Peraturan Gubernur tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah harus telah ditetapkan.


Pasal 42
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Provinsi Jawa Barat.


Ditetapkan di Bandung
pada tanggal
GUBERNUR JAWA BARAT,



AHMAD HERYAWAN

Diundangkan di Bandung
pada tanggal

SEKRETARIS DAERAH PROVINSI
JAWA BARAT,



LEX LAKSAMANA

LEMBARAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT TAHUN 2008 NOMOR SERI

PERUBAHAN PARADIGMA DALAM PEMBANGUNAN KEIRIGASIAN (Sejak Tahun 1980-an)

1. Fokus Pembangunan : Kontruksi ~ Manajemen
2. Sifat Pembangunan : Top - Down ~ Bottom Up
3. Pola Partisipasi : Partial (turut serta) ~ Hollistik (pemberdayaan)
4. Peran Pemerintah : Provider ~ Enable

PENGERTIAN

LEMBAGA PENDAMPINGAN :
adalah pola perilaku manusia atau suatu badan, interaksi sosial, dan nilai-nilai yang ditujukan dalam upaya pemberdayaan masyarakat.

PEMBERDAYAAN :
adalah upaya untuk memperkuat posisi seseorang atau sekelompok orang, melalui penumbuhan kesadaran dan kemampuan yang bersangkutan untuk mengidentifikasi persoalan yang dihadapi dan mencari langkah-langkah untuk mengatasinya.

Prinsip Dasar Pendampingan dan Pemberdayaan

DASAWARSA PEMIKIRAN PEMBANGUNAN:

1.Periode Kolonisasi atau Sejarah 500 tahun (1492 - 1950)
2.Periode Modernisasi atau Tahun 2 Emas (1950-an)
3.Periode Kemerdekaan dan Ketergantungan (1960-an)
4.Periode Menetes ke Bawah (1970-an)
5.Periode Dasawarsa yang hilang (1980-an)
6.Periode Partisipasi Rakyat (1990-an sampai kini)

PERISTIWA PENTING PADA PERIODE PARTISIPASI RAKYAT
1. Munculnya gerakan rakyat (people movement)
2. Resesi Negara Utara
3. Pembangunan Manusia (human development)
4. Pertemuan KTT Bumi di Rio

PERUBAHAN PENTING PADA PERIODE PARTISIPASI
1. Dikenalkan pendekatan holistik yakni pengintegrasian antara:
. Aksi dengan refleksi
. Teori dengan praktek
. Pendidikan dengan pembelajaran
. Sosial /politik dengan ekonomi
2. Perubahan indikator keberhasilan pembangunan:
. GNP (Gross National Product)  HDI (Human Development Index)
. Pertumbuhan Ekonomi  Partisipasi Warganegara
3. Perubahan pendekatan pembangunan:
. Tergantung Negara Utara  Kemandirian Negara Selatan
. Bertumpu pada elit (elite centered strategy)  Bertumpu pada rakyat (People Centered Strategy)

Jumat, 13 November 2009

gotong-royong, benteng terakhir kearifan lokal


Apa pun konteksnya nama gotong-royong selalu dikaitkan dengan aktivitas atau kegiatan yang selalu dilakukan secara bersama-sama. Gotong royong selalu berangkat dari ide dan konsep partisipasi masyarakat kelas bawah. kenapa demikian? sebab, jika kita melihat struktur sosial yang ada dimasyarakat. masyarakat kita sebetulnya telah dari dulu menyadari, bahwa untuk menyelesaikan sebuah ide, gagasan bahkan sebuah konsep harus berangkat dari kesadaran kolektif. sebab, jika mengandalkan individu (hanya sedikit yang kaya~cenderung feodalis) masyarakat niscaya sebuah gagasan untuk kepentingan bersama tidak akan terwujud. Berangkat dari ketidakmampuan masyarakat secara materi, terjalinlah kesadaran individu-individu itu untuk mengumpulkan seluruh kemampuan dan kekuatan yang ada, dengan berprinsip duduk sama rendah berdiri sama tinggi. Dan, budaya tersebut telah terbentuk sudah sejak lama. Jika melihat dari perspektif sejarah umat manusia, gotong-royong adalah sebuah keniscayaan seluruh umat manusia sebagai bekal untuk bertahan hidup demi kelangsungan hidup dan kehidupan. jika kita yang hanya memonopoli kebenaran tersebut (karakter gotong-royong), sepertinya terlalu ke-PD-an, sebab, kalau pun benar gotong-royong itu hanya milik karakter bangsa kita, kenapa bangsa kita selalu lamban untuk menentukan nasib bangsanya ke depan. Saya tergugah dan takjub, ketika bangsa jepang yang porak-poranda terkena bom nuklir terdahsyat di dunia, atau bangsa Jerman yang hancur akibat kalah perang, tetapi bangsa-bangsa tersebut mampu bangkit kembali secara serempak. Mereka mampu menunjukkan bahwa bangsa mereka lebih bahu-membahu untuk bangkit dari keterpurukan mental dan peradaban. Tidak sampai sewindu, bangsa jepang dan Jerman mampu berdiri di kaki sendiri. Contoh tersebut mudah-mudahan mampu menginsyafi kita semua yang selalu mengklaim bangsa yang paling arif dalam hal bahu-membahu dalam menentukan konsensus atau pun dalam pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan bersama (gotong-royong). Ke depan janganlah kita terlena dengan kebanggaan semu warisan dongeng gotong-royong semata, tetapi mampu membumi, menyata dalam setiap gerak langkah manusia-manusia Indonesia.